(IslamToday ID) – Pemerintahan Donald Trump kembali mengarahkan kebijakan ekonomi dan perdagangan yang lebih agresif terhadap China, meningkatkan risiko ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Dalam beberapa hari terakhir, Trump mengeluarkan memorandum yang memerintahkan komite pemerintah untuk membatasi investasi China di sektor teknologi, energi, dan industri strategis lainnya di Amerika Serikat. Selain itu, pemerintah AS juga meminta Meksiko untuk mengenakan tarif pada impor China, sebagai respons terhadap perusahaan-perusahaan China yang memindahkan produksi ke Meksiko guna menghindari bea masuk yang diberlakukan Trump sejak periode pertama kepemimpinannya.
Langkah lain yang diusulkan adalah mengenakan biaya tambahan untuk penggunaan kapal dagang buatan China, sebagai upaya membendung dominasi negara tersebut dalam industri perkapalan global. Akibat kebijakan ini, saham perusahaan perkapalan China mengalami penurunan pada Senin (24/2/2025). Sementara itu, indeks saham CSI 300 di China berfluktuasi, dan mata uang yuan yang diperdagangkan di dalam negeri menguat 0,2% terhadap dolar AS hingga mencapai 7,2359 pada pukul 12.30 waktu Shanghai.
Serangkaian kebijakan ini menjadi langkah paling agresif pemerintahan Trump dalam menargetkan Beijing selama masa jabatan keduanya. Langkah ini juga berpotensi memperumit negosiasi perdagangan yang selama ini bertujuan mengurangi surplus perdagangan China terhadap AS.
Dari berbagai kebijakan baru tersebut, memorandum yang diberikan kepada Komite Investasi Asing di AS (CFIUS)—sebuah panel yang bertugas mengawasi investasi asing dalam perusahaan atau properti di AS—dinilai sebagai yang paling berpengaruh. Memorandum tersebut menyebut Beijing sebagai “musuh asing” dan menekankan perlunya perlindungan terhadap “aset berharga AS di bidang teknologi, ketahanan pangan, lahan pertanian, mineral, sumber daya alam, pelabuhan, dan terminal pengiriman.”
“Langkah ini kemungkinan akan mengecewakan Beijing, yang sebelumnya berharap bisa menawarkan investasi besar di AS sebagai bagian dari negosiasi,” kata Martin Chorzempa, peneliti senior di Peterson Institute for International Economics, Washington. “Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan, apakah AS masih bersedia menerima investasi dari China?”
Sejak akhir tahun lalu, investasi China di Amerika Utara telah merosot tajam hingga ke tingkat terendah, bahkan lebih rendah dibanding saat pandemi Covid-19. Para investor tampaknya menunggu kepastian hasil pemilu AS sebelum membuat keputusan bisnis. Menurut laporan Rhodium Group, sebuah firma konsultasi berbasis di AS, investasi China di AS, Kanada, dan Meksiko pada kuartal terakhir hanya mencapai US$191 juta, turun lebih dari 90% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Menanggapi kebijakan baru AS, Beijing mendesak Washington untuk tidak “memanipulasi dan menjadikan isu ekonomi serta perdagangan sebagai senjata politik.” Kementerian Perdagangan China memperingatkan bahwa kebijakan AS ini dapat merusak kepercayaan perusahaan China untuk berinvestasi di AS.
Memorandum Trump juga merekomendasikan peninjauan kembali perjanjian pajak tahun 1984 antara AS dan China yang menghindari pajak berganda bagi individu dan perusahaan. Selain itu, aturan terkait “variable interest entity”—skema yang digunakan perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS—juga akan ditinjau ulang.
“Jika perjanjian ini dihapuskan, ketidakpastian bagi investor akan meningkat drastis, karena mereka tidak akan tahu bagaimana sistem pajak akan berlaku bagi mereka,” ujar Chorzempa.
Pembatasan investasi dari dana pensiun dan yayasan AS ke sektor teknologi tinggi di China juga diperkirakan akan berdampak besar pada industri kecerdasan buatan (AI) negara tersebut. Menurut UBS Group AG, kebijakan ini dapat memengaruhi rantai pasokan AI, termasuk perangkat keras, perangkat lunak, serta perusahaan internet.
Selain itu, rencana AS untuk mengenakan biaya tambahan pada kapal buatan China yang digunakan dalam perdagangan internasional juga menimbulkan dampak besar bagi industri perkapalan global. Aturan ini mewajibkan sebagian produk AS diangkut menggunakan kapal buatan dalam negeri, sebagai hasil dari penyelidikan terhadap praktik industri maritim, logistik, dan pembuatan kapal di China.
China saat ini menguasai hampir 50% kapasitas pembuatan kapal global, didorong oleh permintaan domestik yang tinggi. Armada kapal dagang China diperkirakan bernilai US$255,2 miliar pada Januari lalu, menjadikannya yang terbesar di dunia. Jepang berada di peringkat kedua dengan US$231,4 miliar, sementara AS menempati peringkat keempat dengan US$116,4 miliar.
Imbas kebijakan ini, saham Cosco Shipping Holdings Co, yang sebelumnya masuk daftar hitam Departemen Pertahanan AS karena dugaan keterkaitan dengan militer China, anjlok hingga 8,3% di Hong Kong pada Senin. Saham Yangzijiang Shipbuilding Holdings Ltd, yang berbasis di Singapura, juga mengalami penurunan.
Ketegangan AS-China semakin meningkat setelah Wakil Perdana Menteri China, He Lifeng, pekan lalu menyampaikan keprihatinannya terhadap kenaikan tarif sebesar 10% yang diberlakukan Trump pada barang-barang asal China. Pernyataan ini disampaikan dalam percakapan telepon dengan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang dalam diskusi tersebut menyoroti berbagai ketidakseimbangan ekonomi antara kedua negara.
China masih mempertahankan surplus perdagangan dengan AS sebesar US$295 miliar, yang menjadi salah satu perhatian utama pemerintahan Trump. Meskipun begitu, Trump menyatakan kemungkinan adanya kesepakatan baru dengan Beijing, setelah kesepakatan yang dibuat pada periode pertamanya. “Mungkin saja, mungkin saja,” ujar Trump pekan lalu.
Sebelumnya, Trump sempat mengancam akan menaikkan tarif hingga 60% pada barang-barang China, sebuah langkah yang bisa melumpuhkan perdagangan antara kedua negara. Ia juga telah memerintahkan penyelidikan untuk menentukan apakah China mematuhi perjanjian perdagangan yang telah disepakati.
Diskusi antara Bessent dan He Lifeng ini terjadi hanya beberapa minggu setelah tarif baru mulai berlaku, yang berdampak pada seluruh barang China yang dikirim ke AS. Trump menghubungkan tarif ini dengan produksi bahan baku untuk fentanil ilegal yang dikirim dari China ke AS, sebuah isu yang menjadi fokus utama pemerintahannya.
Di tengah ketegangan perdagangan, Trump juga mendorong upaya mengakhiri perang di Ukraina, sebuah langkah yang dimulai dengan diskusi bersejarah antara dirinya dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Meskipun China mungkin menyambut baik berakhirnya perang, karena dapat memperbaiki hubungannya dengan Eropa, ada kemungkinan bahwa setelah konflik Ukraina berakhir, Washington akan lebih fokus pada persaingan dengan Beijing.[sya]