(IslamToday ID) – Gencatan senjata antara penjajah Israel dan Lebanon yang disepakati pada November lalu setelah berminggu-minggu serangan udara Israel telah membuka babak baru dalam krisis politik Lebanon. Meskipun perang berakhir tanpa kemenangan militer yang jelas, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya melihat peluang untuk memanfaatkan situasi pascaperang guna mendorong perubahan politik yang tidak dapat mereka capai melalui kekuatan militer. Arab Saudi ditunjuk untuk memimpin upaya ini karena perannya yang bersejarah di Lebanon serta kemampuannya mempengaruhi faksi-faksi Sunni utama di negara tersebut.
Bahkan sebelum gencatan senjata secara resmi diberlakukan, Riyadh segera menyesuaikan kebijakan terhadap Lebanon. Pengawasan atas isu Lebanon dialihkan dari Dewan Kerajaan yang sebelumnya dikelola oleh penasihat senior Nizar al-Aloula ke Kementerian Luar Negeri di bawah Faisal bin Farhan. Pergeseran ini menandakan pendekatan diplomatik yang lebih langsung.
Kembalinya Arab Saudi dengan Syarat Ketat
Tim baru segera menjalin komunikasi intensif dengan berbagai faksi politik dan lembaga keagamaan Lebanon, sekaligus meningkatkan tekanan terhadap isu-isu politik krusial, terutama pemilihan presiden dan pembentukan pemerintahan. Arab Saudi kembali setelah sebelumnya menarik diri secara tiba-tiba pada 2017, ketika memaksa mantan Perdana Menteri Saad Hariri mengumumkan pengunduran dirinya melalui siaran televisi dari Riyadh dan memutus hubungan dengan elite politik Lebanon.
Namun, kali ini Arab Saudi menerapkan syarat ketat. Dukungan finansial dan politik dari Riyadh kini bergantung pada kesediaan Beirut untuk membatasi pengaruh Hizbullah. Tuntutan Riyadh tetap tidak berubah, yakni menerapkan resolusi internasional, menegaskan otoritas negara di seluruh wilayah Lebanon, serta memutus akses Hizbullah terhadap pendanaan dan persenjataan.
Lebanon di Bawah Pengawasan Saudi-AS
Lebanon kini berada dalam ujian untuk menunjukkan kesediaannya mengikuti agenda Saudi-AS dengan meningkatkan tekanan terhadap Hizbullah dan membatasi sumber dayanya. Upaya ini mencakup kontrol keuangan yang lebih ketat untuk mencegah dana rekonstruksi mengalir ke wilayah-wilayah yang terkena dampak perang, seperti pinggiran selatan Beirut dan Lebanon selatan, yang berpotensi menguntungkan perlawanan Lebanon.
Jurnalis Maysam Rizk dari The Cradle mengungkapkan bahwa Riyadh dan Washington menganggap Lebanon dalam masa percobaan pascaperang, dengan tujuan tidak hanya melucuti senjata Hizbullah di selatan Sungai Litani, tetapi juga mengikis pengaruhnya secara nasional dengan dalih reformasi.
Reposisi Kekuasaan di Lebanon
Dengan dinamika internal Lebanon yang terus berubah dan garis-garis geopolitik baru yang terbentuk, Arab Saudi berupaya mengamankan pengaruhnya dengan mengorbankan pesaingnya, terutama Qatar. Menggunakan kekuatan finansial dan statusnya di dunia Arab, Riyadh bertujuan menggoyahkan persatuan politik yang terbentuk selama perang dan mengarahkan Lebanon ke jalur yang menguntungkan kepentingannya.
Dr. Fouad Ibrahim, seorang analis politik, menyatakan bahwa Saudi berusaha memanfaatkan situasi pascaperang untuk melemahkan perlawanan, terutama dengan absennya pemimpin utama Hizbullah, termasuk almarhum Sayyed Hassan Nasrallah dan beberapa pejabat senior lainnya. Selain itu, jatuhnya pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024 semakin memperkuat keyakinan Riyadh bahwa ini adalah momen yang tepat untuk meraih keuntungan geopolitik di Lebanon.
Apakah Lebanon Akan Didorong Menuju Normalisasi?
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah apakah agenda Saudi di Lebanon mencakup upaya untuk mendorong normalisasi dengan Israel. Meskipun ini masih menjadi tujuan jangka panjang, strategi Riyadh dan Washington tampaknya bertujuan untuk mengkonsolidasikan kendali atas institusi politik, keamanan, dan keuangan Lebanon secara bertahap.
Dr. Ibrahim menegaskan bahwa Arab Saudi akan menggunakan sumber daya finansial dan politiknya untuk menekan Lebanon agar menerima syaratnya, termasuk normalisasi dengan Israel dan pembatasan Hizbullah. Sasaran utama dari perubahan ini adalah komunitas Sunni Lebanon, yang memainkan peran penting dalam keseimbangan sektarian negara itu.
Maysam Rizk juga menambahkan bahwa agenda Saudi di Lebanon mencerminkan dorongan AS-Israel untuk membawa Lebanon ke arah normalisasi. Langkah ini mencakup penguasaan posisi kunci di bidang politik, keamanan, dan ekonomi guna memastikan bahwa kebijakan Lebanon sejalan dengan kepentingan Saudi dan sekutunya.
Tatanan Baru atau Krisis Baru?
Presiden Lebanon, Joseph Aoun, berharap kunjungan keduanya ke Arab Saudi yang dijadwalkan setelah Idul Fitri pada awal April akan membuahkan hasil lebih baik dibandingkan kunjungan pertamanya. Ia berusaha memperbaiki hubungan bilateral dengan mencabut larangan perjalanan ke Lebanon, melanjutkan ekspor ke Arab Saudi, dan membuka peluang investasi.
Namun, hingga kini Riyadh hanya memberikan janji tanpa tindakan konkret. Arab Saudi masih menilai kinerja pemerintah Lebanon berdasarkan serangkaian persyaratan yang telah ditetapkan.
Dalam konteks yang lebih luas, perjuangan politik dan ekonomi Lebanon kini terkait erat dengan kalkulasi geopolitik regional dan internasional. Perubahan keseimbangan kekuatan di Asia Barat semakin terlihat dengan kembalinya Arab Saudi ke Beirut. Lebanon kini menghadapi pilihan sulit: tunduk pada tatanan baru atau melawan. Kedua pilihan tersebut memiliki konsekuensi besar, tetapi harga dari kepatuhan mungkin lebih mahal daripada harga dari perlawanan.[sya]