(IslamToday ID) – Kelompok oposisi Suriah secara resmi menggulingkan rezim Baath yang telah berkuasa selama 61 tahun pada 8 Desember 2024. Dengan demikian, proses revolusi yang dimulai sejak 2011 berakhir setelah 13 tahun perlawanan terhadap kepemimpinan otoriter Bashar al-Assad. Mayoritas rakyat Suriah menyambut perubahan rezim ini serta kepemimpinan baru Ahmed al-Sharaa. Namun, sejumlah kekuatan regional dan global segera mencari cara untuk ikut campur dalam politik domestik Suriah, termasuk dengan memanfaatkan kelompok minoritas di negara itu.
Suriah memiliki empat kelompok minoritas utama, yakni Kristen, Kurdi, Druze, dan Arab Alawite. Meskipun umat Kristen tidak mendominasi wilayah tertentu, tiga kelompok lainnya memiliki daerah konsentrasi masing-masing. Kaum Druze banyak bermukim di bagian tenggara Suriah, Kurdi di timur laut, sementara Arab Alawite—kelompok minoritas agama terbesar setelah Muslim Sunni—berada di barat laut Suriah.
Sejarah mencatat bahwa Suriah memiliki tradisi hidup berdampingan secara damai. Meskipun tidak ada permusuhan historis antara kelompok-kelompok ini, beberapa negara berusaha memanfaatkan minoritas untuk menimbulkan ketegangan internal. Druze, Kurdi, dan Arab Alawite menjadi sasaran potensial bagi intervensi asing dalam politik Suriah.
Kesepakatan Damai Pemerintah Suriah dengan Kelompok Kurdi
Kurdi, yang merupakan kelompok etnis non-Arab terbesar dan sebagian besar beragama Islam Sunni, memilih untuk berdamai dengan pemerintah. Pemerintahan Ahmed al-Sharaa mencapai kesepakatan dengan YPG—sayap militer Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Suriah—pada 11 Maret 2025. Kesepakatan tersebut mencakup gencatan senjata serta integrasi pasukan YPG ke dalam angkatan bersenjata Suriah. Seiring perkembangan ini, kekuatan asing yang sebelumnya berharap dapat menggunakan Kurdi untuk melemahkan pemerintahan baru kini mulai mengalihkan fokus mereka ke kelompok minoritas lain, yakni Druze dan Arab Alawite.
Upaya Eksploitasi Druze dan Arab Alawite oleh Kekuatan Asing
Druze menjadi target utama intervensi asing, dengan kelompok ini terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang lebih besar, dipimpin oleh Leit Baloush, memilih untuk tetap berada dalam pemerintahan Damaskus dan mempertahankan integritas teritorial negara. Sementara itu, kubu yang lebih kecil, yang dipimpin oleh Sheikh Hijri, menginginkan otonomi. Israel dan beberapa negara Barat dilaporkan mencoba menghasut kelompok Druze agar melawan pemerintah pusat Suriah. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan menyatakan bahwa negaranya akan menjadi pelindung keamanan Druze dan tidak akan membiarkan tentara Suriah memasuki provinsi Daraa, Suwayda, dan Quneitra.
Di sisi lain, kelompok Arab Alawite mendapat dukungan dari Iran, yang telah lama menjadi sekutu utama rezim Baath. Iran berusaha mendapatkan kembali pengaruhnya di Suriah dengan memanfaatkan Arab Alawite melawan pemerintahan baru. Beberapa kelompok bersenjata sisa rezim Assad sempat melancarkan serangan terhadap pos-pos pemerintahan, yang kemudian dibalas dengan operasi militer besar oleh pasukan pemerintah. Bentrokan ini menyebabkan banyak korban jiwa, termasuk warga sipil yang tidak terlibat dalam konflik.
Dari kedua upaya intervensi ini, terlihat bahwa mobilisasi kelompok minoritas melawan pemerintah pusat Suriah bukan hanya berisiko tinggi tetapi juga berbiaya besar. Semakin cepat kelompok-kelompok ini menyadari kenyataan tersebut, semakin cepat pula stabilitas politik dapat tercapai di Suriah.
Turki dan Peranannya dalam Stabilitas Suriah
Perkembangan di Suriah ini tidak terlepas dari dinamika yang terjadi di Turki. Pemerintah Turki tengah berupaya mengakhiri ancaman terorisme, terutama dari PKK/YPG, dan menciptakan stabilitas regional. Sejumlah pihak menilai bahwa kekuatan asing yang gagal memanfaatkan isu Kurdi kini mencoba memainkan kartu sektarian dengan menghasut kelompok Alevi di Turki, seperti halnya Alawite di Suriah.
Sebagai bagian dari upaya menciptakan stabilitas kawasan, Turki menghidupkan kembali platform integrasi regional yang pertama kali dibentuk pada Maret 2010. Pekan lalu, Ankara memimpin pertemuan keamanan yang melibatkan lima negara, yakni Turki, Suriah, Yordania, Lebanon, dan Irak. Pertemuan ini dilakukan di tengah upaya beberapa kekuatan regional untuk menggoyahkan stabilitas Suriah dengan mendorong kelompok Druze dan Arab Alawite agar memberontak terhadap pemerintahan Ahmed al-Sharaa.
Semua aktor internasional memahami peran dominan Turki di Suriah. Sebagai negara yang berkomitmen menjaga keutuhan wilayah Suriah, Turki tidak akan membiarkan negara itu jatuh ke dalam kekacauan. Turki menjalankan kebijakan dua tahap dalam membantu pemerintahan baru Suriah. Pertama, Ankara mendorong Damaskus untuk mengadopsi kebijakan yang inklusif terhadap semua kelompok etnis dan agama agar tidak ada kelompok yang terpinggirkan. Kedua, Turki bekerja sama dengan negara-negara regional untuk mencegah campur tangan destruktif dari aktor asing dalam urusan domestik Suriah.
Sebagai bagian dari strategi diplomatiknya, Turki juga berupaya mendorong pengakuan internasional terhadap pemerintahan baru Suriah. Salah satu keberhasilannya adalah mengembalikan posisi Suriah di Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam pertemuan Dewan Menteri Luar Negeri OKI di Jeddah baru-baru ini. Dengan langkah-langkah ini, Turki berusaha memastikan bahwa Suriah tetap stabil dan terhindar dari upaya disintegrasi yang didorong oleh kepentingan asing.[sya]