(IslamToday ID) – Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, mengancam akan menggunakan kekuatan militer jika tentara Thailand mengirim pasukan ke candi kuno Khmer yang terletak di perbatasan kedua negara. Ancaman ini disampaikan setelah ketegangan meningkat akibat sengketa wilayah di Candi Ta Moan Thom.
Perbatasan yang belum sepenuhnya ditetapkan di kawasan candi tersebut menyebabkan konfrontasi antara tentara Kamboja yang mengunjungi lokasi itu bulan lalu dan pasukan Thailand yang ditempatkan di sekitar wilayah tersebut, menurut laporan media independen CamboJa.
Militer Thailand kemudian mengirimkan surat protes resmi kepada Angkatan Darat Kamboja setelah insiden tersebut, seperti yang disampaikan Menteri Pertahanan Thailand pada 17 Februari.
Pada Senin lalu, Hun Manet menegaskan bahwa Kamboja tidak akan takut untuk melawan jika militer Thailand melanggar kedaulatan negaranya.
“Sebagai pemerintahan, prioritas kami adalah menyelesaikan konflik secara damai dengan menggunakan hukum, negosiasi, dan diplomasi internasional,” ujar Hun Manet dalam pidatonya di hadapan Asosiasi Taipan Kamboja.
“Namun, kami akan selalu siap menghadapi segala bentuk invasi bersenjata yang mengancam wilayah Kamboja. Kamboja berhak mempertahankan kedaulatannya dengan segala cara, termasuk kekuatan militer,” tambahnya.
Sengketa di Candi Ta Moan Thom memiliki kesamaan dengan konflik berkepanjangan mengenai Candi Preah Vihear, yang menjadi lokasi bentrokan mematikan antara pasukan Kamboja dan Thailand pada 2008 hingga 2011.
Candi Ta Moan Thom terletak di perbatasan antara Provinsi Oddar Meanchey, Kamboja, dan Provinsi Surin, Thailand, sekitar 140 km sebelah barat Candi Preah Vihear.
Candi Preah Vihear, yang berdiri di tebing Pegunungan Dangrek, telah diberikan kepada Kamboja oleh Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962. Namun, keputusan tersebut tidak mencakup wilayah seluas 4,6 km² di sekitar kompleks candi Hindu berusia 1.000 tahun itu.
Pada 2008, bentrokan antara tentara Kamboja dan Thailand pecah setelah UNESCO menetapkan Candi Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia. Konflik ini berakhir setelah ICJ kembali memenangkan Kamboja dalam keputusan tahun 2011.
Hun Manet menyinggung kasus ini dalam pidatonya, menegaskan bahwa Kamboja memiliki pengalaman dalam mengajukan gugatan ke ICJ dan mempertahankan wilayahnya.
Hun Sen dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)
Sementara itu, Presiden Senat Kamboja, Hun Sen, mengancam akan menangkap siapa pun yang membandingkannya dengan mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte. Duterte baru-baru ini ditangkap dan dikirim ke Belanda untuk menghadapi pengadilan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait kebijakan “perang melawan narkoba” yang kontroversial.
Dalam konferensi di Phnom Penh, Hun Sen menyatakan bahwa dirinya tidak bisa disamakan dengan pemimpin diktator atau tokoh lain yang menghadapi surat perintah penangkapan internasional atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Saya tidak akan ikut campur dalam urusan internal Filipina, tetapi di Kamboja, kami telah menyatakan dengan tegas bahwa kami tidak akan mengirim warga negara kami ke negara lain untuk diadili,” tegas Hun Sen.
“Konstitusi kami melarang pencabutan kewarganegaraan dan penangkapan warga atas permintaan negara asing.”
Sepanjang masa pemerintahannya sebagai Perdana Menteri, Hun Sen menghadapi berbagai tuntutan di ICC yang diajukan oleh aktivis oposisi dan pengacara internasional. Tuntutan ini berkaitan dengan pembunuhan kritikus pemerintah Kem Ley pada 2016, pembubaran Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) pada 2017, serta kasus penggusuran massal yang memicu sengketa lahan.
Hun Sen, yang kini berusia 72 tahun, mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri pada 2023 dan menyerahkan jabatan tersebut kepada putra sulungnya, Hun Manet.
Menurut analis hukum Vorn Chanlout, rekam jejak Hun Sen selama puluhan tahun berkuasa membuatnya sulit menghindari perbandingan dengan pemimpin otoriter lainnya.
“Dia telah menindas rakyat, politisi, dan orang-orang yang tidak bersalah. Tidak ada yang bisa melarang orang untuk membandingkannya secara negatif. Jika dia ingin diingat dengan baik, dia harus melakukan perbuatan baik sejak sekarang,” ujar Chanlout kepada Radio Free Asia (RFA).
Kamboja telah meratifikasi Statuta Roma yang mendasari pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada tahun 2002. Dengan ratifikasi tersebut, ICC memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi di wilayah Kamboja atau yang dilakukan oleh warganya.[sya]