(IslamToday ID) – Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan utusan Amerika Serikat, Steve Witkoff, pada Kamis malam (1/2) untuk membahas rincian proposal gencatan senjata 30 hari yang diajukan AS dalam konflik Rusia-Ukraina. Putin meminta Witkoff untuk menyampaikan perspektif Moskow kepada Washington, menurut juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, seperti dilaporkan Associated Press (AP), Jumat (2/2). Putin sebelumnya menyatakan bahwa Rusia mendukung rencana gencatan senjata tersebut, tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam implementasinya.
Peskov mengungkapkan bahwa kemungkinan adanya panggilan telepon antara Putin dan Presiden AS Donald Trump akan dibahas setelah Witkoff menyampaikan pesan dari Moskow ke Washington. “Melalui Witkoff, Putin telah menyampaikan pesan dan sinyal lebih lanjut kepada Presiden Trump,” ujar Peskov, seperti dikutip TASS. Namun, ia tidak merinci topik spesifik yang dibahas dalam pertemuan itu.
Menurut sumber dari TASS, Witkoff meninggalkan Moskow pada Jumat pagi sekitar pukul 11.00 waktu setempat setelah menyampaikan rencana gencatan senjata. Proposal ini mendapat momentum setelah Ukraina, dalam pertemuan dengan delegasi AS di Jeddah, menyatakan dukungan terhadap gencatan senjata sementara selama 30 hari.
Dalam konferensi pers bersama Presiden Belarusia Alexander Lukashenko, Putin menyatakan bahwa Rusia menyetujui penghentian permusuhan, tetapi harus mengarah pada perdamaian jangka panjang dan menyelesaikan akar konflik. Ia juga menyoroti kesulitan dalam mengawasi pelanggaran gencatan senjata di sepanjang garis kontak 2.000 km dan khawatir Ukraina akan memanfaatkan masa jeda ini untuk mobilisasi dan pengiriman senjata.
Putin mengindikasikan kemungkinan berbicara dengan Trump guna mendiskusikan langkah berikutnya untuk mengakhiri konflik dan mencapai kesepakatan berdasarkan situasi di lapangan. Menurut pakar dari Pusat Studi Rusia di Universitas Normal China Timur, Wan Qingsong, pernyataan Putin menunjukkan keterbukaan Rusia terhadap negosiasi damai, tetapi tetap menuntut solusi yang mempertimbangkan akar konflik serta mempertahankan momentum perbaikan hubungan Rusia-AS.
Reaksi Beragam dari Pihak Terkait
Presiden AS Donald Trump menyatakan pada Jumat (2/2) melalui media sosial bahwa diskusi dengan Putin sangat produktif dan ada peluang besar untuk mengakhiri perang yang “mengerikan dan berdarah” ini. Trump juga menegaskan bahwa Rusia telah memberikan sinyal positif terkait gencatan senjata, tetapi masih ada rincian yang belum selesai.
Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menunjukkan sikap skeptis dalam pidatonya pada Kamis malam (1/2). Menurut laporan New York Times, ia menganggap respons Putin terhadap proposal gencatan senjata sangat dapat diprediksi dan penuh dengan prasyarat yang membuat kesepakatan sulit diwujudkan.
Profesor Li Haidong dari Universitas Hubungan Luar Negeri China menilai bahwa semua pihak sedang menunjukkan fleksibilitas diplomatik untuk menampilkan citra sebagai pihak yang pro-perdamaian. Namun, perbedaan mendalam terkait keamanan jangka panjang tetap menjadi tantangan dalam menyelesaikan krisis Ukraina.
Menurut Wan, rencana damai yang diajukan AS masih belum mencakup semua kepentingan pihak terkait. Gencatan senjata ini hanya bersifat sementara dan tidak memberikan jaminan stabilitas jangka panjang, sehingga berisiko menjadi “gencatan senjata untuk kepentingan semata.”
Sikap PBB dan China
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric, menyambut baik setiap potensi gencatan senjata di Ukraina dengan harapan dapat membawa perdamaian jangka panjang. Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menegaskan bahwa China berpegang pada prinsip penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah semua negara, serta mendukung semua upaya yang kondusif bagi penyelesaian damai.
Mao berharap pihak-pihak terkait dapat mencapai kesepakatan damai yang adil, mengikat, dan diterima oleh semua pihak melalui dialog dan negosiasi. Ia juga menegaskan kesiapan China untuk terus berperan konstruktif dalam menyelesaikan krisis Ukraina.
G7 dan Perkembangan di Lapangan
Sementara itu, para menteri luar negeri negara-negara G7 menggelar pertemuan di Kanada untuk mencari kesatuan sikap terhadap perang Ukraina dan tekanan tarif AS. Menteri Luar Negeri Kanada, Melanie Joly, menegaskan bahwa G7 akan terus mendukung Ukraina dalam menghadapi “agresi ilegal Rusia.” Namun, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, meminta G7 untuk menghindari bahasa yang “antagonistik” terhadap Rusia guna mempertahankan jalur diplomasi yang dapat mengakhiri konflik.
Draf komunike yang diperoleh Reuters tidak menyebutkan sanksi baru terhadap Rusia, tetapi menekankan perlunya jaminan keamanan yang kuat agar gencatan senjata dapat dipatuhi dan Ukraina dapat mempertahankan diri dari agresi di masa depan.
Di lapangan, Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan bahwa pasukan mereka telah merebut kembali kota strategis Sudzha di wilayah Kursk yang dikuasai Ukraina, bersamaan dengan kunjungan Putin ke wilayah tersebut. Putin menegaskan bahwa Rusia sepenuhnya mengendalikan situasi di Kursk dan kelompok tempur Ukraina telah diblokir sepenuhnya.
Sebelumnya, Penasihat Presiden Rusia, Yuri Ushakov, menyebut rencana gencatan senjata AS dan Ukraina hanya sebagai “waktu jeda” bagi militer Ukraina. Ia menegaskan bahwa Moskow menginginkan penyelesaian damai jangka panjang yang mempertimbangkan kepentingan sah Rusia.
Negosiasi dengan Moskow diperkirakan tidak akan menghasilkan kemajuan jika AS dan Ukraina tidak mempertimbangkan realitas baru di medan perang dan tuntutan inti Rusia. Wan menambahkan bahwa dengan semakin kuatnya posisi Rusia di medan tempur, tuntutan mereka kemungkinan akan meningkat, mengurangi ruang kompromi dengan AS dan Ukraina.[sya]