(IslamToday ID) – Pada 11 Maret, pembicaraan yang dimediasi oleh Arab Saudi menghasilkan kesepakatan gencatan senjata 30 hari antara Amerika Serikat dan Ukraina dalam perang melawan Rusia. Kesepakatan ini menandai terobosan diplomatik terbesar sejak invasi Moskow dimulai tiga tahun lalu. Selain gencatan senjata, kesepakatan ini mencakup dimulainya kembali bantuan militer dan berbagi intelijen AS dengan Ukraina. Washington dan Kyiv juga sepakat untuk segera menyelesaikan perjanjian eksplorasi serta pembagian sumber daya mineral strategis Ukraina. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan bahwa keputusan selanjutnya ada di tangan Rusia, menandai langkah baru dalam dinamika konflik ini.
Arab Saudi sebagai Kekuatan Baru dalam Mediasi Global
Keberhasilan Arab Saudi dalam menjadi mediator utama menegaskan peran pentingnya dalam proses perdamaian perang paling mematikan di Eropa saat ini. Dalam diplomasi global, soft power suatu negara diukur dari kemampuannya dalam menengahi konflik besar dan menjadi pihak netral yang dipercaya oleh kedua belah pihak. Jika sebelumnya peran ini didominasi oleh kekuatan besar, kini negara-negara berstatus “middle power” mulai memainkan peran lebih aktif dalam mediasi internasional.
Pergeseran Peran Negara Mediator dalam Diplomasi Internasional
Amerika Serikat, yang dulunya dianggap sebagai mediator utama dalam konflik internasional, kehilangan kredibilitasnya setelah memindahkan kedutaannya di Israel ke Yerusalem pada 2018 dan memaksakan “deal of the century” yang mengesampingkan hak-hak Palestina. Sementara itu, negara-negara seperti Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), Turki, dan Arab Saudi semakin menunjukkan kemampuannya dalam menengahi konflik, seperti perang di Afghanistan, Gaza, Sudan, hingga ketegangan antara Pakistan dan India.
Persaingan Soft Power: Arab Saudi vs. Turki dalam Mediasi Ukraina-Rusia
Pada 18 Februari, Arab Saudi menggelar pertemuan antara pejabat Rusia dan Amerika Serikat untuk membahas akhir dari perang Ukraina. Pada saat yang sama, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengunjungi Turki untuk bertemu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Ketidakhadirannya dalam pembicaraan Riyadh mendorong Zelenskyy untuk lebih mendukung peran Ankara sebagai mediator. Beberapa hari kemudian, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengunjungi Ankara, yang diikuti dengan pertemuan pejabat Rusia dan Amerika di Istanbul pada 27 Februari.
Persaingan antara Arab Saudi dan Turki dalam mediasi konflik Ukraina-Rusia semakin jelas. Sejak awal perang pada 2022, Turki telah berperan sebagai mediator utama, menyeimbangkan hubungan dengan Rusia dan Ukraina. Turki juga berhasil menengahi perjanjian ekspor gandum Laut Hitam dan memfasilitasi pembicaraan perdamaian awal. Namun, hasil upaya mediasi Ankara mulai memudar setelah Rusia menarik diri dari perjanjian gandum pada 2023, serta meningkatnya inisiatif mediasi oleh Arab Saudi.
Rintangan bagi Turki dalam Mediasi Ukraina-Rusia
Tidak semua pihak kini mendukung peran Turki dalam mediasi. Rusia menolak tawaran Ankara untuk memulai kembali pembicaraan perdamaian, mengingat keterlibatan militer Turki dalam mendukung Ukraina dengan drone dan senjata. Persaingan geopolitik Turki dengan Rusia di berbagai wilayah seperti Libya dan Suriah juga mengurangi kepercayaan Kremlin terhadap Ankara sebagai mediator netral. Amerika Serikat juga skeptis terhadap peran Turki, dengan alasan bahwa pembicaraan Istanbul pada awal perang tidak dapat dijadikan dasar bagi kesepakatan damai yang lebih luas.
Arab Saudi Dipandang sebagai Mediator Netral
Saat ini, Arab Saudi dipandang sebagai mediator paling netral dalam penyelesaian konflik Ukraina-Rusia. Dengan partisipasi aktif AS, Rusia, dan Ukraina dalam perundingan di Riyadh, dunia menyaksikan bagaimana Kerajaan Saudi memperkuat posisinya sebagai aktor utama dalam diplomasi global. Meski demikian, Turki tetap berambisi untuk memperluas pengaruhnya sebagai pusat diplomasi perdamaian, seperti yang ditegaskan Erdogan dalam pidatonya di parlemen Turki.
Persaingan antara Arab Saudi dan Turki dalam memediasi perang Ukraina-Rusia menjadi bagian dari dinamika baru dalam diplomasi internasional, di mana negara-negara “middle power” semakin memainkan peran penting dalam membentuk tatanan global. Dengan berbagai tantangan di depan, baik Riyadh maupun Ankara akan terus berupaya membuktikan kapasitas mereka sebagai mediator yang kredibel dan efektif dalam mengakhiri konflik besar dunia.[sya]