(IslamToday ID) – Pemerintah Malaysia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya untuk tahun 2025 setelah kebijakan tarif dari Amerika Serikat (AS) menimbulkan ketidakpastian dalam sektor investasi dan perdagangan. Di saat bersamaan, Malaysia juga memulai pembicaraan dagang dengan pihak AS untuk mencari kesepakatan yang “adil”, menurut keterangan pejabat tinggi negara tersebut.
Menteri Keuangan Kedua Malaysia, Amir Hamzah Azizan, mengatakan pemerintah tengah mengkaji ulang proyeksi pertumbuhan resmi sebesar 4,5% hingga 5,5% untuk tahun depan. Hal ini menyusul keputusan AS yang memberlakukan tarif baru pada awal bulan ini.
“Apa yang terjadi dalam tiga minggu terakhir jauh lebih berat dari yang diperkirakan banyak orang,” ujar Amir dalam wawancara di sela-sela Pertemuan Musim Semi IMF-Bank Dunia di Washington, Kamis (24/4/2025). “Kemungkinan besar perdagangan global akan melambat. Pertanyaannya adalah: seberapa dalam perlambatan itu akan terjadi?”
Ia menambahkan bahwa proyeksi ekonomi yang baru akan diumumkan dalam beberapa bulan mendatang. Malaysia sendiri mencatatkan pertumbuhan yang lebih lambat dari perkiraan pada kuartal pertama, bahkan sebelum AS mengumumkan tarif terhadap sejumlah mitra dagangnya. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Malaysia akan tumbuh sebesar 4,1% tahun ini.
Malaysia juga menggelar pertemuan dagang dengan AS pada Kamis, dengan harapan bisa menghindari tarif “resiprokal” sebesar 24% dari negara adidaya tersebut. Tarif itu saat ini masih ditangguhkan selama 90 hari. Delegasi Malaysia dipimpin oleh Menteri Investasi, Perdagangan, dan Industri, Zafrul Aziz, yang bertemu dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick serta Perwakilan Dagang Jamieson Greer. Malaysia menjadi negara Asia terbaru yang memulai pembicaraan resmi dengan AS, menyusul Jepang dan Vietnam.
Dalam pernyataan resminya pada Jumat, Kementerian Investasi, Perdagangan, dan Industri Malaysia menyebut pihaknya terbuka untuk melanjutkan diskusi guna memperkecil defisit dagang AS, mengatasi hambatan non-tarif, serta mengeksplorasi kemungkinan perjanjian dagang bilateral.
“Kita harus siap melihat opsi yang ada, selama itu tidak mengganggu struktur ekonomi dalam negeri,” ujar Amir. Ia mengakui bahwa menutup kesenjangan dagang sepenuhnya akan sulit, dan enggan menjawab apakah Malaysia akan menawarkan pembelian lebih banyak produk dari AS. “Mari kita buka semua di atas meja dan bahas mana yang adil dan mana yang tidak.”
Amir juga menegaskan bahwa Malaysia siap menghadapi potensi perlambatan pertumbuhan, dengan mengandalkan ruang fiskal dan peningkatan investasi dari perusahaan-perusahaan milik negara. Meski harga minyak menurun, pemerintah tetap akan melanjutkan reformasi subsidi bahan bakar pada pertengahan 2025. Skema subsidi tersebut akan berbentuk dua tingkat, di mana hanya 15% masyarakat terkaya yang membayar sesuai harga pasar.
Ia optimistis pemerintah akan mencapai target defisit anggaran sebesar 3,8% dari produk domestik bruto (PDB) tahun ini, turun dari 4,1% pada 2024, seiring dengan upaya perluasan basis pajak.
Lebih lanjut, Amir menyebut bahwa Malaysia dapat meningkatkan koordinasi dan perdagangan regional sebagai respons terhadap tantangan global yang meningkat. Perdana Menteri Anwar Ibrahim, yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan, sebelumnya mengatakan bahwa Malaysia akan memimpin upaya negara-negara Asia Tenggara dalam merespons kebijakan tarif dari AS. Saat ini, Malaysia menjabat sebagai ketua ASEAN, kelompok negara Asia Tenggara yang terdiri dari 10 anggota.[sya]