(IslamToday ID) – Negara-negara Asia Tenggara berjanji akan meningkatkan pembelian sejumlah barang AS, yang merupakan bagian dari upaya melobi Presiden Donald Trump agar mengurangi tarif impor terhadap mereka.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperingatkan akan ada dampak ekonomi yang signifikan terhadap kawasan yang bergantung pada perdagangan tersebut.
Berdasarkan pengumuman pemerintah masing-masing negara pekan ini, Indonesia menawarkan untuk menambah pembelian kedelai dan gandum dari AS, sedangkan Thailand akan mengimpor lebih banyak jagung dan Filipina memborong daging beku.
Vietnam, Thailand, dan Indonesia juga akan meningkatkan impor gas alam dan membeli pesawat komersial atau militer baru untuk menyeimbangi surplus perdagangan mereka dengan AS.
Serbuan permintaan negosiasi dagang dari negara-negara ASEAN ini terjadi setelah Trump mengumumkan menunda tarif resiprokal selama 90 hari, sebagai gantinya dia memberlakukan pungutan 10% untuk barang-barang dari kawasan tersebut.
Namun, masih belum jelas seberapa pasti kesepakatan akan tercapai—perjanjian dagang bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan, dan Trump bisa saja berubah pikiran, seperti yang terjadi pada kesepakatan dagang yang dicapai dengan Kanada dan Meksiko pada masa pemerintahan pertamanya.
“Ketidakpastian berada di level yang sangat tinggi—bahkan di luar perkiraan,” kata Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Srinivasan kepada Haslinda Amin dari Bloomberg Television pada Jumat.
Raksasa Manufaktur Asia Terancam dengan Tarif AS yang Lebih Tinggi
Pada konferensi pers di AS, Kamis malam, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto mengaku optimis karena Indonesia menjadi negara pertama yang mengirim tim negosiasi pada 16 April. Negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini ingin menyelesaikan semua diskusi teknis dalam waktu 60 hari dan mengajukan paket persetujuan Trump.
Vietnam juga memulai pembicaraan setelah panggilan telepon antara Menteri Perdagangan Nguyen Hong Dien dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer menetapkan “prinsip-prinsip, ruang lingkup, dan peta jalan negosiasi” pada Rabu. Filipina akan mengirim delegasinya ke AS pada 28 April.
Urgensi ini muncul karena Asia, yang memproduksi sebagian besar barang di dunia, akan menjadi salah satu ‘korban’ yang paling terpukul akibat perang dagang global. IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia menjadi hanya 3,9% tahun ini dan 4% tahun 2026—penyesuaian paling tajam sejak pandemi.
Di luar Washington, nasib kawasan ini juga bergantung pada apakah ada resolusi dalam perang dagang yang jauh lebih parah antara AS dan China, yang merupakan mitra dagang utama dan sumber investasi.
Sebagai tanda positif, China sedang mempertimbangkan pengecualian tarif untuk beberapa barang AS, menurut narasumber yang mengetahui hal ini sebelumnya. Beijing kemudian mengumumkan akan “mempersiapkan sepenuhnya” rencana darurat untuk menangkal guncangan eksternal.
Ada juga pemikiran yang berkembang di Asia Tenggara bahwa negosiasi dagang tidak bisa hanya menjadi satu-satunya cara. Airlangga menegaskan Indonesia juga akan menjaga kepentingan dalam negeri karena AS meminta lebih banyak akses pasar, deregulasi investasi, serta kerja sama dalam rantai pasokan mineral penting.
Thailand, yang setuju untuk menunda perundingannya dengan AS, menyampaikan peringatan serupa.
“Kami akan mendekati pembicaraan dengan pola pikir bahwa kami akan memberi mereka sesuatu jika mereka juga bersedia memberi kami sesuatu,” kata Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra pada Kamis.
Di antara isu-isu yang diangkat AS ialah dugaan manipulasi mata uang dan peraturan longgar yang memungkinkan negara-negara lain mengalihkan barang mereka melalui Thailand untuk menghindari tarif yang lebih tinggi.
Srinivasan dari IMF memperingatkan akan ada lebih banyak risiko negatif lagi terhadap pertumbuhan kawasan ini. Pasalnya, negosiasi akan semakin banyak dilakukan dan kejelasan mengenai dampak pembicaraan pada perekonomian Asia hanya sedikit.
Sisi positifnya, ia mengatakan fundamental Asia “jauh lebih baik” dibandingkan dengan krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, ketika IMF memberikan dana talangan pada Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand.
Srinivasan mengatakan perbedaannya, termasuk kerangka kerja kebijakan yang kredibel, bank-bank sentral yang independen, dan lebih sedikit ketidaksesuaian mata uang dalam neraca keuangan mereka.
“Yang kami sarankan pada negara-negara ialah membiarkan nilai tukar menjadi peredam guncangan, dan membiarkan kebijakan moneter memberi ruang yang Anda butuhkan untuk menyesuaikan diri dengan guncangan tarif,” tandas Srinivasan.[sya]