(IslamToday ID) – Selama tiga bulan terakhir, Amerika Serikat secara mengejutkan mengubah arah kebijakan luar negerinya. Gedung Putih berkomitmen untuk mengurangi kehadiran militernya di Eropa dan berupaya mengakhiri perang Rusia-Ukraina, meski harus mengorbankan sebagian wilayah Ukraina kepada Moskow. Keputusan ini mengguncang fondasi keamanan Eropa dan memunculkan kembali pertanyaan penting: mampukah Eropa bertahan jika ditinggalkan AS?
Jawabannya, menurut para analis dan pejabat, tidak. Berikut enam alasan utama mengapa Eropa dinilai belum mampu mempertahankan diri dari ancaman Rusia:
1. Ketergantungan Sejak Era Perang Dunia II
Selama lebih dari 80 tahun, Eropa hidup dalam bayang-bayang perlindungan militer Amerika. Setelah jatuhnya Nazi Jerman, aliansi trans-Atlantik telah menjadi pilar utama perdamaian benua tersebut. Namun kini, masa di mana perdamaian dianggap sebagai hal yang otomatis, telah berlalu. “Setelah invasi ke Ukraina, kita sadar bahwa perdamaian harus dipertahankan, bukan diberikan,” ujar Roberto Cingolani, mantan menteri Italia yang kini memimpin raksasa pertahanan Eropa, Leonardo.
2. Kesiapan Militer yang Minim
Perlombaan untuk memperkuat pertahanan tengah berlangsung di negara-negara NATO di Eropa. Meski punya potensi, kenyataannya banyak militer di Eropa Barat belum siap menghadapi kemungkinan konfrontasi langsung dengan Rusia. Angkatan bersenjata mereka memerlukan suntikan dana dan keahlian secara besar-besaran untuk mengejar kesiapan tempur.
3. Dana Pertahanan yang Terbatas
Pengeluaran militer sempat stagnan pada pertengahan dekade 2010-an. Walau Inggris, Prancis, dan Jerman telah mulai meningkatkan investasinya, hasil dari peningkatan tersebut belum tampak signifikan. Jumlah pasukan dan kesiapan tempur menurun drastis sejak akhir Perang Dingin. Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS) bahkan menyebut bahwa tingkat keausan peralatan militer dalam Perang Ukraina mengungkap kelemahan nyata pertahanan Eropa saat ini.
4. Kesulitan Menjadi Mandiri
Beberapa negara Eropa Timur seperti Polandia mulai menonjol dalam upaya pertahanan mandiri. Washington bahkan memuji Polandia sebagai sekutu ideal. Namun, motivasi Polandia lebih didorong oleh pengalaman sejarah mereka dengan Rusia dibanding keinginan untuk memuaskan AS. Selama bertahun-tahun, Polandia telah memperingatkan tentang ancaman Moskow dan kini menjadi pendukung utama Ukraina.
5. Garis Depan Amerika di Eropa Mulai Menipis
Jumlah pasukan AS di Eropa terus berkurang sejak puncak Perang Dingin, dari setengah juta menjadi sekitar 80.000 tentara tahun lalu. Meski masih signifikan, pengurangan ini menimbulkan kekhawatiran, apalagi ketika prioritas militer AS mulai bergeser ke Indo-Pasifik dan Laut Cina Selatan. Pangkalan militer AS di Jerman, Italia, dan Polandia yang selama ini menjadi tulang punggung pertahanan NATO kini berada di bawah bayang ketidakpastian.
6. Ketergantungan pada Nuklir Amerika
Senjata nuklir menjadi elemen paling vital dalam strategi pencegahan Eropa. Sayangnya, Eropa sangat bergantung pada AS untuk kekuatan ini. Inggris dan Prancis hanya memiliki sekitar 10% dari total persenjataan nuklir Rusia. Sementara itu, AS memiliki jumlah yang seimbang dengan Rusia, dan beberapa hulu ledaknya ditempatkan langsung di Eropa.
Realitas geopolitik ini menjadi peringatan keras bagi Eropa. Tanpa pembaruan strategis dan peningkatan kemampuan pertahanan, benua biru dapat berada dalam posisi yang sangat rentan jika krisis global kembali pecah—dan kali ini, mungkin tanpa perlindungan Amerika.[sya]