(IslamToday ID) – Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang sebelumnya berjanji akan menghentikan perang dalam 24 jam, kini justru mengikuti jejak Joe Biden dengan mengirim senjata ke Ukraina. Langkah ini menimbulkan kritik tajam, terutama dari kalangan pendukungnya sendiri.
Menurut laporan New York Times pada 4 Mei, satu sistem pertahanan udara Patriot milik AS yang sebelumnya ditempatkan di Israel akan segera dikirim ke Ukraina. Pengiriman sistem ini membutuhkan persetujuan langsung dari Gedung Putih, dan kini Trump telah memberi lampu hijau.
Tak berhenti di situ, pada 2 Mei, Washington juga menyetujui potensi penjualan senilai USD 310,5 juta untuk pelatihan dan dukungan pesawat tempur F-16 kepada Ukraina. Paket tersebut meliputi peningkatan pesawat, pelatihan personel, suku cadang, serta perangkat lunak dan perangkat keras. Ukraina sendiri mulai menerima jet F-16 dari NATO sejak tahun lalu.
Selain itu, pemerintahan Trump telah menyetujui ekspor senjata senilai USD 50 juta ke Ukraina melalui skema Direct Commercial Sales, menurut laporan media Ukraina pada 1 Mei. Jenis persenjataan yang dikirim belum diungkap secara rinci.
Pengiriman bantuan militer ini terjadi setelah kesepakatan kerja sama tambang mineral antara AS dan Ukraina ditandatangani. Meskipun kedua negara menyebutnya sebagai langkah strategis yang saling menguntungkan, para analis menilai perjanjian tersebut lebih bersifat simbolis dan tidak memberikan manfaat langsung baik secara ekonomi maupun keamanan.
Menariknya, di tengah seruan Trump untuk gencatan senjata, Pentagon masih melanjutkan pengiriman senjata ke Ukraina dari paket bantuan era Biden. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang konsistensi kebijakan luar negeri Trump terkait konflik Rusia-Ukraina.
Reaksi keras datang dari lingkaran pendukung Trump sendiri. Politisi MAGA dan anggota Kongres Marjorie Taylor Greene mengkritik keputusan tersebut. Ia mempertanyakan mengapa AS harus “menduduki Ukraina”, mempertaruhkan nyawa warga Amerika, dan menghabiskan dana besar hanya demi melindungi keamanan negara lain serta mengeksplorasi tambang mineralnya.
“Saya mewakili basis pendukung Trump. Kalau saya sudah frustrasi dan marah, berarti basis tidak senang,” cuit Greene pada 2 Mei. “Saya berkampanye untuk menghentikan perang asing, bukan memperluasnya.”
Langkah terbaru ini memicu spekulasi bahwa arah kebijakan luar negeri Trump mungkin tidak sejalan dengan janjinya semasa kampanye. Apakah ini strategi diplomatik jangka panjang, atau justru awal dari keterlibatan lebih dalam dalam perang Ukraina?.[sya]