(IslamToday ID) – Militer Israel terus berusaha meringsek ke berbagai simpul pertahanan Hamas di Gaza. Namun hal itu bukan tanpa konsekuensi, mereka harus masuk ke jebakan yang sudah disiapkan Hamas sehingga nyawa mereka melayang.
Dengan mengutus banyak pasukan ke jalur Gaza, pemerintah Israel sejatinya sengaja membuat tentaranya mati sia-sia. Itu belum termasuk rencana gila Israel untuk menyerang kawasan Yaman, karena gerah dibombardir Houthi terus – menerus. Juga manuver nekat Israel menyerang Suriah dan Lebanon. Semua itu merupakan agresi militer yang merugikan ekonomi negara zionis.
Pensiunan militer Israel Mayor Jenderal Yitzhak Brick menegaskan bahwa Israel kini menghadapi front kedelapan dalam perang (Yaman). Ia menegaskan bahwa Hamas telah menang secara efektif di Jalur Gaza, dan bahwa eselon politik dan militer telah “menyesatkan publik Israel,” menurut surat kabar Israel Maariv beberapa waktu lalu.
Brick mengatakan bahwa tingkat penghancuran terowongan Hamas sebenarnya kurang dari 10 persen. Hamas telah membangun kembali kemampuannya dan memiliki sekitar 30.000 pejuang. Kekuatan Hamas semakin kuat walaupun Gaza dibombardir Gaza habis-habisan dengan menggunakan 100 ribu ton bom sebagaimana dilaporkan sejumlah kantor berita.
Ia juga menambahkan bahwa terowongan yang membentang dari Sinai ke Jalur Gaza tetap terbuka, dan penyelundupan terus berlanjut melalui terowongan tersebut. Ia menambahkan bahwa “baik Brigade Rafah maupun brigade lainnya tidak dieliminasi,” sehingga menimbulkan keraguan pada narasi resmi tentara mengenai pencapaian tujuan perang di Gaza.
Strategi Eyal Zamir tak efektif
Brick juga mengkritik Kepala Staf yang baru, Eyal Zamir. Menurutnya, orang itu seratus persen merupakan boneka Netanyahu yang menganut delusi membebaskan tahanan Israel di Jalur Gaza melalui tekanan militer.
Ia menunjukkan bahwa Zamir telah menentang keyakinannya sebelumnya, yang telah ia sampaikan kepada Brick. Alih-alih mendorong kesepakatan komprehensif, ia malah memperparah pertempuran meskipun ia mengetahui kesia-siaan hal itu.
Ia juga memperingatkan bahwa tentara Israel sedang berperang dan tidak akan pernah menang, dan menyadari bahwa kelanjutan perang tersebut berarti hilangnya banyak tawanan, bertambahnya korban jiwa, dan berkurangnya kesiapan menghadapi ancaman di masa mendatang.
8 ancaman Hamas yang mengerikan
Brick menjelaskan apa yang ia anggap sebagai ancaman strategis utama yang tidak siap dihadapi oleh tentara Israel. Ancaman tersebut akan merontokkan sendi sendi kekuatan militer Israel yang terkenal berteknologi dan bersenjata super canggih karena didukung kekuatan Amerika.
Pertama, aliansi Turki dan Suriah
Brick mengatakan bahwa “aliansi militer antara Turki dan Suriah” merupakan ancaman utama. Kalau Turki sampai mengirimkan pasukan militer, memperkuat pertahanan Suriah, maka berarti Israel sangat mungkin bertempur dengan Turki. Kekuatan militer Turki melampaui sumber daya militer zionis. Jika kedua tentara ini berhadapan, bukan tidak mungkin Israel akan semakin dipermalukan.
Kedua, penyelundupan senjata yang memperkuat kelompok perlawanan
Jalur penyelundupan ini melalui Yordania dan negara-negara yang bersentuhan langsung dengan Gaza. Sponsornya adalah Iran. Selama Israel ekspansif, maka gerakan perlawanan akan semakin kuat.
Ketiga, militer Mesir
Tidak diam saja, militer Mesir siaga penuh di Sinai yang berbatasan langsung dengan Rafah, gerbang masuk Gaza. Tank Abrams mereka sudah terparkir di sana dengan moncong terarah kepada pasukan Israel yang sedang membantai warga sipil Palestina.
Keempat, serangan Iran
Bukan tidak mungkin nantinya Iran akan menghujani Israel dengan ribuan rudal. Serangan Iran sebelumnya memang banyak ditangkal, tapi itu bukan akhir. Saat ini Iran mengembangkan kekuatan militernya dan berupaya membuat serangan yang lebih mematikan.
Kelima, Tepi Barat
Serangan Israel di Tepi Barat semakin membuat militer zionis runyam. Terlalu banyak personel dan sumber daya yang dikerahkan ke sana. Korban yang terus berjatuhan semakin merusak reputasi Israel.
Keenam, Gagal memusnahkan Hamas
Pihaknya menyayangkan omong kosong Netanyahu. Perdana Menteri Israel itu terlalu banyak umbar janji yang tak bisa ia tepati, yaitu memusnahkan Hamas. Gerakan perlawanan tersebut memang menjadi momok Israel, tapi Israel sendiri, tak pernah mampu mengeliminasi Hamas, meski sudah dibantu senjata super canggih Amerika.
Ketujuh, ekstremisme di Tubuh Israel
Yitzhak Brick mengimbau seluruh orang Israel untuk mewaspadai ekstremisme di internal Israel. Sebab gerakan ini mengabaikan kejernihan dalam berpikir dan mengakibatkan negara membabi buta tak tentu arah dalam menggerakkan militer dan mesin pertahanan. Ben Gvir, Smotrich, yang menjadi kepercayaan Netanyahu merupakan representasi ekstremisme yang justru membahayakan Israel sendiri.
Kedelapan, IDF tak punya prestasi hadapi perang dengan banyak front
Selama ini Israel belum punya rekam jejak mumpuni untuk sukses dan berhasil menghadapi lawan dari berbagai kelompok. Melawan Hamas saja sejak 1990-an hingga kini, Israel tak pernah bisa menghabisi gerakan tersebut, meskipun sudah banyak membunuh pentolan Hamas.
Hingga detik ini, Hamas tetap menjadi penguasa utama dan menjadi penggerak dan pemimpin Gaza. “Israel tidak memiliki kapasitas untuk menghadapi perang multi-front.”
Tentara Israel membangkang tolak perang
Gelombang penolakan terhadap mobilisasi militer kembali melanda Israel. Kali ini, tentara cadangan yang selama ini menjadi tulang punggung operasi militer di Gaza menyatakan kelelahan dan kekecewaan yang mendalam terhadap perang yang tak kunjung berakhir.
Menurut laporan Al Jazeera, semakin banyak tentara cadangan Israel yang menolak dipanggil kembali untuk bertugas. Mereka menyebut kelelahan fisik dan mental akibat penugasan berulang kali dalam perang yang tak memiliki titik akhir yang jelas.
Penolakan ini menguat seiring dengan meningkatnya ketegangan internal di Israel terkait prioritas pemerintah dalam menghadapi konflik berkepanjangan dengan Hamas di Jalur Gaza.
Keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk terus melanjutkan operasi militer alih-alih fokus pada pembebasan tawanan di Gaza menjadi titik kritik utama. Banyak pihak menilai pilihan itu sebagai bagian dari ambisi politik pribadi Netanyahu, bukan kepentingan nasional.
“Perang ini bukan lagi tentang keamanan Israel, melainkan tentang kelangsungan politik Netanyahu,” demikian kutipan isi surat terbuka yang dirilis oleh anggota dan mantan anggota Angkatan Udara Israel pada April lalu. Surat tersebut kemudian memicu gelombang protes dari unit-unit elit lainnya, termasuk Angkatan Laut dan Mossad.
Ketidakpuasan juga dirasakan publik. Ribuan warga Israel dalam beberapa pekan terakhir turun ke jalan, khususnya di depan Kementerian Pertahanan di Tel Aviv, memprotes keputusan pemerintah memanggil 60 ribu tentara cadangan tambahan.
Mereka mempertanyakan arah kebijakan militer yang telah menyebabkan lebih dari 52 ribu warga Palestina tewas sejak perang pecah pada Oktober 2023, yang kebanyakan korbannya adalah perempuan dan anak-anak.
Sementara itu, keluarga para tawanan yang masih berada di Gaza makin lantang menyuarakan kritik. Mereka menilai pemerintah lebih memilih ambisi “kemenangan total” ketimbang menyelamatkan warganya yang masih disandera.
Kebijakan Netanyahu yang secara sepihak mengakhiri gencatan senjata pada Maret lalu, yang sejatinya bisa membuka jalan bagi pembebasan para tawanan, memperparah keretakan di masyarakat Israel. Kini, pilihan antara mengakhiri perang atau melanjutkan “perang abadi” menjadi perdebatan yang memecah belah bangsa.
Dengan tekanan dari dalam militer dan masyarakat sipil yang kian besar, masa depan strategi militer Israel di Gaza berada di ujung tanduk.[sya]