(IslamToday ID) – Upaya Presiden AS Donald Trump untuk mendorong perdamaian di Ukraina memasuki titik krusial, setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menantang Presiden Rusia Vladimir Putin untuk melakukan pembicaraan langsung pekan ini.
Setelah akhir pekan yang dipenuhi kegiatan diplomatik, Zelenskiy menyampaikan bahwa ia akan bertolak ke Istanbul pada 15 Mei, lokasi yang diusulkan Putin sebagai tempat negosiasi antara kedua negara.
Namun, proses perdamaian ini masih dibayangi keraguan dan sejumlah perselisihan yang belum terselesaikan. Zelenskiy dan para sekutu Eropanya menuntut agar Rusia memulai gencatan senjata selama 30 hari mulai Senin (12/5/2025) dan mengancam akan menjatuhkan sanksi baru secara besar-besaran jika Putin menolak. Mereka juga menyatakan Amerika Serikat akan ikut mendukung langkah itu, meski Trump sendiri lebih berhati-hati dalam pernyataan publiknya dan Putin belum menanggapi tuntutan tersebut.
“Saya akan berada di Turki hari Kamis,” ujar Zelenskiy dalam pidato harian kepada rakyat Ukraina, Minggu (11/5/2025) malam. “Saya harap kali ini, Putin tidak mencari-cari alasan untuk tidak datang. Kami siap berbicara, siap mengakhiri perang ini.”
Trump memberikan dorongan baru dalam upaya diplomasi pada Kamis lalu dengan menyerukan agar Putin dan Zelenskiy menyepakati gencatan senjata, sembari mengisyaratkan kemungkinan sanksi jika pasukan Rusia melanggar kesepakatan tersebut. Pada Minggu, ia kembali menegaskan seruannya agar kedua pemimpin segera bertemu.
“LAKUKAN PERTEMUANNYA, SEKARANG JUGA!!!” tulis Trump di platform media sosialnya, Truth Social.
Senator AS Lindsey Graham, sekutu politik Trump, menyampaikan awal bulan ini bahwa ia telah mengantongi dukungan bipartisan untuk rancangan undang-undang yang akan menjatuhkan sanksi “menghancurkan” terhadap Rusia. Termasuk di antaranya tarif 500% untuk impor dari negara-negara yang membeli minyak, gas alam, atau uranium dari Rusia.
Pergerakan diplomasi terkait Ukraina berlangsung di tengah maraknya aktivitas politik menjelang kunjungan Trump ke negara-negara Teluk pekan ini. AS juga mengumumkan kemajuan dalam negosiasi dagang dengan China, pembicaraan nuklir dengan Iran, penanganan konflik di Gaza, serta membantu meredakan ketegangan antara India dan Pakistan.
Dalam beberapa pekan terakhir, Trump lebih aktif berkoordinasi dengan sekutu Eropa dan Ukraina untuk menekan Putin mengakhiri perang yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Meski demikian, retorika publik Trump kerap tidak sejalan dengan sikap keras para sekutunya, menimbulkan pertanyaan apakah ia siap memberlakukan sanksi besar-besaran.
Kanselir Jerman Friedrich Merz, Presiden Prancis Emmanuel Macron, PM Inggris Keir Starmer, dan PM Polandia Donald Tusk mengunjungi Kyiv bersama pada Sabtu (10/5/2025) sebagai bentuk dukungan terhadap Zelenskiy. Mereka memberi ultimatum kepada Putin, memperingatkan bahwa proses penjatuhan sanksi baru akan dimulai Senin kecuali Rusia menghentikan serangannya.
Trump telah menyetujui pernyataan tersebut secara tertutup dan menyatakan kesediaannya untuk mendukung langkah itu, termasuk sanksi tambahan jika diperlukan, menurut seorang pejabat pemerintah Eropa yang enggan disebutkan namanya.
Menjelang tenggat waktu tengah malam Minggu, belum ada tanda-tanda bahwa Rusia akan mengurangi serangan. Pasukan Kremlin dilaporkan menembakkan lebih dari 100 drone ke berbagai wilayah di Ukraina, termasuk Kyiv. Posisi militer di Ukraina timur juga dilaporkan diserang ribuan kali dalam 24 jam terakhir, menurut Staf Umum Angkatan Bersenjata Ukraina.
Macron kembali berbicara dengan para pemimpin Eropa pada Minggu sore, lalu melanjutkan dengan pembicaraan lanjutan bersama Zelenskiy dan Trump guna menyusun langkah diplomatik beberapa hari ke depan, menurut pernyataan dari Istana Elysee.
Para pemimpin Eropa tetap bersikukuh bahwa Rusia harus memulai gencatan senjata mulai Senin dan akan menghadapi respons keras dari Eropa serta AS jika serangan terus berlanjut, kata seorang pejabat senior Eropa pada Minggu. Ia menambahkan bahwa AS sepenuhnya mendukung sikap tersebut.
Meski demikian, penerapan sanksi baru dari Uni Eropa bukanlah hal mudah karena membutuhkan persetujuan bulat dari 27 negara anggota. Hongaria diketahui kerap menjadi penghalang dalam upaya sebelumnya.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan kepada CNN pada Sabtu bahwa Rusia terbuka untuk berdialog guna mengakhiri perang di Ukraina, namun “menolak segala bentuk tekanan.”
Tuntutan maksimalis Putin untuk mengakhiri perang mulai membuat Trump kesal, terutama karena ia sebelumnya berjanji akan membawa perdamaian dalam 100 hari pertama masa jabatan keduanya — sebuah janji yang belum terpenuhi.
Putin bersikeras bahwa kesepakatan damai harus mencakup pengakuan terhadap kedaulatan Rusia atas empat wilayah di timur dan tenggara Ukraina yang dianeksasi secara ilegal pada 2022, meskipun sebagian wilayah tersebut belum sepenuhnya dikuasai pasukan Rusia.
Sebaliknya, AS mengusulkan agar konflik dibekukan kurang lebih di garis depan saat ini, yang berarti sebagian besar wilayah pendudukan tetap berada di bawah kendali Moskow. Pemerintahan Trump juga siap mengakui Krimea — wilayah Ukraina yang dianeksasi Rusia pada 2014 — sebagai bagian dari Rusia, menurut laporan Bloomberg bulan April.
Setelah Putin menyatakan kepada wartawan di Kremlin bahwa ia siap untuk “pembicaraan serius”, Trump menyebutnya sebagai “hari yang berpotensi hebat bagi Rusia dan Ukraina!” dalam unggahan di media sosialnya.
Turki sebelumnya pernah menjadi tuan rumah perundingan antara pejabat tingkat bawah Rusia dan Ukraina pada 2022, beberapa minggu setelah invasi skala penuh, namun pembicaraan itu runtuh usai terungkapnya pembantaian warga sipil oleh pasukan Kremlin di pinggiran Kyiv. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga berperan dalam perjanjian 2022 yang memungkinkan ekspor gandum Ukraina secara aman.
Erdogan, yang berpotensi menjadi tuan rumah pertemuan Kamis, berbicara dengan Putin pada Minggu dan menyatakan harapannya agar negosiasi tersebut dapat menghasilkan “solusi permanen” untuk perang, menurut pernyataan dari kantornya.
Putin mengatakan kepada wartawan bahwa pembicaraan mendatang seharusnya membahas akar penyebab konflik di Ukraina dan menghasilkan perdamaian jangka panjang. Ia menambahkan bahwa Moskow akan mengikuti pembicaraan “tanpa prasyarat.”
“Kami tidak menutup kemungkinan bahwa dalam perundingan ini akan tercapai kesepakatan mengenai gencatan senjata baru,” ujarnya.[sya]