(IslamToday ID) – Kemiskinan masih menjadi tantangan global terbesar yang dihadapi umat manusia, tetapi merupakan tantangan yang bisa diatasi, menurut Profesor Sabina Alkire, direktur Inisiatif Kemiskinan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Oxford (Oxford Poverty and Human Development Initiative/OPHI).
Dalam sesi wawancara dengan Xinhua baru-baru ini, Alkire mengungkapkan beberapa temuan dari studi terbaru OPHI, yang menunjukkan bahwa dari 6,3 miliar orang di 112 negara, 1,1 miliar orang atau sekitar 18,3 persen hidup dalam kemiskinan multidimensi akut.
Secara khusus, 40 persen dari individu-individu tersebut tinggal di wilayah yang terdampak konflik, ketidakstabilan, atau tingkat kedamaian yang rendah.
Alkire memberikan penekanan tentang hubungan yang kompleks antara kemiskinan dan konflik, seraya mengatakan bahwa walaupun konflik dapat menyebabkan kemiskinan, kemiskinan itu sendiri juga dapat mengganggu stabilitas individu, komunitas, dan masyarakat secara keseluruhan.
Terlepas dari data yang sangat mencengangkan, Alkire mengungkapkan optimismenya tentang potensi kemajuan dan mengatakan bahwa membuat kemajuan nyata “bukanlah hal yang sangat sulit.” Tantangannya terletak pada mobilisasi aksi dan merayakan kesuksesan untuk menginspirasi upaya lebih lanjut, imbuhnya.
Sang profesor mengutip contoh-contoh yang menggembirakan, seperti India, di mana lebih dari 200 juta orang berhasil keluar dari kemiskinan multidimensi antara tahun 2005 hingga 2019, serta Kamboja, yang berhasil mengurangi separuh tingkat kemiskinannya hanya dalam waktu tujuh tahun.
Bahkan negara-negara yang sedang bergulat dengan krisis, seperti Sierra Leone selama wabah Ebola, dapat mencapai kemajuan yang nyata.
Alkire juga menyoroti pencapaian China dalam pengentasan kemiskinan, menyebut upaya tersebut bersifat instruktif dan berdampak besar.
Timnya telah bekerja sama dengan Pusat Pengentasan Kemiskinan Internasional di China, melakukan penelitian di daerah-daerah seperti Mongolia Dalam dan Guizhou.
Alkire mengatakan bahwa salah satu karakteristik yang menonjol adalah sistem perpasangan one-to-one di China, di mana setiap rumah tangga miskin dipasangkan dengan seorang pekerja garis depan dan seorang pejabat pendukung.
Menurut Alkire, pendekatan ini memupuk akuntabilitas serta membangun hubungan yang bermakna dan memberdayakan serta mendukung solusi jangka panjang. Selain pendanaan, Alkire memuji penggunaan sistem data yang kuat, kapasitas organisasi, dan struktur insentif di China.
Pemerintah di banyak negara lain mengadopsi instrumen serupa, termasuk pencatatan sosial dan program tunjangan multidimensi, imbuhnya.
Alkire juga menyoroti peran China dalam berbagi pengetahuan global, dengan menerima delegasi dari negara-negara seperti Meksiko dan Kolombia, serta mengirim delegasi China ke daerah pedesaan di Afrika Selatan untuk bertukar pengalaman mengenai pengentasan kemiskinan.
Namun, Alkire juga menyuarakan kekhawatirannya atas penurunan bantuan pembangunan global baru-baru ini, terutama dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Alkire memperingatkan bahwa dengan pemangkasan dana dari lembaga-lembaga seperti Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat, data kemiskinan yang mencakup sekitar 3 miliar orang kemungkinan tidak akan lagi tersedia, sehingga menghambat upaya pemantauan dan respons global.
“Ini adalah masa-masa yang sangat sulit,” tuturnya, merujuk pada mundurnya donatur tradisional dan lembaga pembangunan.
Meski demikian, Alkire tetap berharap bahwa pemain-pemain baru, termasuk kelompok pemuda, organisasi nonpemerintah, dan sektor swasta, dapat turun tangan untuk mengisi kekosongan tersebut.
Sebagai peneliti, Alkire menggarisbawahi pentingnya membekali para pemain baru tersebut dengan data terkini yang dapat diakses dengan mudah.
Dengan metrik yang akurat, mereka dapat mengambil tindakan yang didasari informasi yang cukup dan berdampak tinggi, yang secara efektif mengatasi kesulitan yang dialami oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan.[sya]