(IslamToday ID) – Setelah mencapai kesepakatan dengan Tiongkok yang mengantar babak de-eskalasi besar Perang Dagang 2.0, Pemerintah Amerika Serikat (AS) kini mengalihkan fokus pencapaian kesepakatan dengan negara-negara di Asia, termasuk Indonesia.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan dalam sebuah acara forum investasi di Arab Saudi hari ini, bahwa ia tengah fokus pada pencapaian kesepakatan di Asia.
“Saya fokus pada kesepakatan di Asia. Kami telah melakukan diskusi yang sangat produktif dengan Jepang. Indonesia sudah ‘sangat terbuka’. Taiwan telah menyampaikan proposal yang ‘sangat bagus’,” kata Bessent dilansir dari Bloomberg News, Selasa (13/5/2025).
Sementara pembicaraan AS dengan Eropa disebut berjalan ‘sedikit lebih lambat’, namun akhirnya dua kekuatan ekonomi itu diyakini akan mencapai solusi yang ‘memuaskan’.
India melawan
Di tengah euforia pasar menyambut ketegangan yang mendingin antara Tiongkok dan AS, kekuatan ekonomi besar Asia lain yakni India telah mengusulkan pengenaan tarif retaliasi pertama mereka pada barang-barang dari Negeri Paman Sam.
Itu menandai langkah pembalasan pertama India terhadap rezim tarif Trump.
Dilansir dari Bloomberg, India telah menginformasikan pada World Trade Organization (WTO) bahwa tarif AS terhadap komoditas logam adalah ‘tindakan pengamanan’ terhadap adanya pembatasan perdagangan yang bisa berdampak buruk pada perdagangan India.
Dalam surat tersebut, India mengatakan bahwa mereka memiliki hak untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya sebagai tindakan balasan terhadap bea masuk AS.
Langkah itu menjadi tindakan balasan pertama India selama masa jabatan kedua Trump.
Ini mungkin agak mengejutkan mengingat sebelumnya, Pemerintah India telah melempar isyarat akan menahan diri dari tindakan balasan apapun dan memilih memprioritaskan negosiasi menuju kesepakatan bilateral. Target kesepakatan dikejar pada musim gugur ini.
“Tindakan terbaru India terhadap WTO muncul di saat genting. Dua negara tengah menjajaki perjanjian perdagangan bebas yang lebih luas dan tindakan balasan ini bisa membayangi negosiasi,” komentar Ajay Srivastava, pendiri lembaga riset Global Trade Research Initiative yang berpusat di New Delhi.
India mengatakan, tarif baja dan alumunium yang dikenakan oleh Trump akan berdampak pada ekspor negeri itu sebesar US$ 7,6 miliar di mana pungutan bea masuk saja akan mencapai US$ 1,9 miliar.
Langkah terbaru India ini akan menjadi perkembangan baru di seputar proses negosiasi AS dengan berbagai negara yang ia kenakan tarif resiprokal dan kini tengah dalam masa jeda 90 hari.
Kesepakatan dengan Indonesia
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membenarkan bahwa komunikasi dengan AS masih dilangsungkan di tengah tercapainya kesepakatan antara Negeri Paman Sam dan China akhir pekan lalu.
Menurut Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto, Pemerintah RI masih bekerja dan melakukan konsolidasi untuk melakukan pembahasan teknis.
Terlebih kedua negara sebelumnya sudah menyepakati kerangka perjanjian, yang berkaitan dengan negosiasi tarif perdagangan, akan diselesaikan dalam 60 hari ke depan sejak Menko Ekonomi Airlangga Hartarto dan tim terbang langsung ke AS.
“Kita masih dalam kerangka target 60 hari paling cepat. Tentu kesepakatan apapun yang meredakan ketegangan diharapkan akan berdampak baik bagi perdagangan secara global,” ujar Haryo.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan mengatakan meredanya ketegangan antara China dan AS di sektor perdagangan bakal berdampak positif terhadap Indonesia, yakni potensi peningkatan arus ekspor, pemulihan dan diversifikasi rantai pasok global.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Kemenkeu Noor Faisal Achmad mengatakan, kesepakatan antara AS-China untuk menurunkan tarif selama 90 hari ke depan juga memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan penanaman modal asing, serta perbaikan sentimen investor yang berdampak positif pada sektor keuangan.
“Kesepakatan ini juga mempertegas efektivitas diplomasi dan negosiasi untuk menurunkan restriksi perdagangan,” ujar Faisal.
Selain itu, Faisal mengatakan, meredanya ketegangan ini berpotensi mendorong pergeseran rantai pasok global ke arah yang lebih beragam (diversifikasi), tetapi tetap saling terhubung.[sya]