(IslamToday ID) – Selama bertahun-tahun, Pakistan terjerat dalam krisis politik, ekonomi, dan keamanan yang saling terkait. Namun, usai bentrokan militer terbesar dengan India dalam lebih dari setengah abad, negara itu untuk sementara merasa seperti pemenang. Pemerintah Pakistan mendeklarasikan kemenangan, sementara rakyat merayakan lewat unjuk rasa dukungan terhadap angkatan bersenjata. Meski para analis menilai konflik empat hari itu berakhir nyaris imbang, keberhasilan bertahan melawan kekuatan India yang lebih besar memberikan suntikan kepercayaan baru bagi publik terhadap militer, lembaga paling dominan di negeri itu.
Situasi ini kontras dengan kondisi beberapa pekan sebelumnya, ketika masyarakat dilanda kekhawatiran bahwa perang hanya akan memperparah krisis dalam negeri. Setelah penggulingan Perdana Menteri Imran Khan tahun 2022, politik Pakistan terpolarisasi tajam. Pemerintah yang berkuasa kini pun dianggap hasil manipulasi pemilu oleh militer. Ditambah lagi, ekonomi memburuk dan keamanan dalam negeri goyah akibat serangan militan dan pemberontakan separatis.
Konflik meletus setelah serangan teroris di Kashmir menewaskan 26 warga sipil, yang dikaitkan India dengan Pakistan. Dua pekan kemudian, India melancarkan serangan balasan hingga wilayah itu nyaris terjerumus ke perang terbuka. Namun, gencatan senjata yang dimediasi AS berhasil menghentikan eskalasi. Dalam pernyataannya, Pakistan mengklaim telah menjatuhkan beberapa jet tempur canggih milik India.
Momentum ini menjadi peluang emas bagi militer untuk memulihkan citranya sebagai kekuatan profesional, bukan alat politik. Jenderal Syed Asim Munir, sosok tertutup yang sebelumnya tidak populer di kalangan pendukung Imran Khan, kini dielu-elukan sebagai penyelamat nasional. Wajahnya terpampang di berbagai papan reklame sebagai simbol kemenangan. Fenomena ini mengulang pola lama di mana konflik dengan India menaikkan pamor panglima militer, seperti yang terjadi pada Jenderal Pervez Musharraf usai perang Kargil 1999.
Namun, pengamat menilai dukungan terhadap militer bisa cepat menguap jika kembali ikut campur dalam politik. Terlebih, ancaman keamanan dalam negeri belum tertangani tuntas. Gelombang serangan di timur laut dan barat daya negeri itu memunculkan keraguan atas kemampuan militer menjaga stabilitas internal. Analis menekankan bahwa strategi kontra pemberontakan memerlukan pendekatan berbeda dari perang konvensional, yakni melalui kebijakan antiteror yang efektif dan dialog politik berkelanjutan.[sya]