(IslamToday ID) – Musim haji kembali tiba. Jutaan umat Muslim dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Makkah untuk menjalankan rukun Islam kelima. Namun, ibadah yang selama ini bersifat sakral dan tradisional, kini tampak berbeda. Di tengah arus digitalisasi global, pengalaman haji 2025 ditandai oleh kehadiran kecerdasan buatan (AI), aplikasi panduan ibadah, gelang pintar, dan kartu cerdas yang membantu jemaah menavigasi perjalanan spiritual mereka.
Transformasi digital ini menciptakan pertanyaan besar di benak banyak Muslim: bagaimana menjaga ketulusan spiritual di tengah keterhubungan digital yang nyaris tak terputus?
Teknologi kini menjadi bagian integral dalam pelaksanaan ibadah. Mulai dari aplikasi yang memandu rukun haji secara real-time, gelang pintar yang memantau kesehatan jemaah, hingga sistem AI yang mengelola arus massa untuk mencegah kemacetan dan bahaya. Bahkan chatbot multibahasa seperti Manarah 2 kini hadir menjawab pertanyaan spiritual secara instan. Kartu pintar Nusuk pun memudahkan akses ke Masjid Nabawi dan layanan akomodasi lainnya. Apa yang dulunya dilakukan berdasarkan hafalan dan catatan tangan, kini diatur dalam sistem digital canggih.
Namun di balik kemudahan ini, muncul kekhawatiran tersendiri. Arfah Farooq, seorang Muslimah yang aktif di bidang teknologi, menyuarakan refleksi mendalam dalam tulisan pribadinya. “Apakah saya lebih sering beralih ke ChatGPT daripada kepada Allah? Kadang-kadang jawabannya iya,” tulisnya. Menurut Arfah, pertanyaan seperti ini penting untuk menjaga perspektif dan memastikan bahwa kecanggihan teknologi tidak menggeser pusat keimanan.
Dalam Ramadan tahun ini, ia bahkan mengadakan lokakarya bertema “Meningkatkan Doa dengan Bantuan AI”. Melalui ChatGPT, peserta belajar menyusun doa dengan struktur yang baik, memanfaatkan Asmaul Husna, hingga meminta AI membuat daftar doa berdasarkan profil pribadi. Hasilnya mengejutkan: AI mampu membantu umat Muslim mengingat hal-hal yang mungkin terlupakan dalam doa mereka.
Meskipun begitu, Arfah mengingatkan bahwa penggunaan teknologi harus disertai kesadaran. Ia mengenang pengalamannya saat Umrah pada 2022, ketika ia sengaja mencetak daftar doa agar tak tergoda membuka ponsel saat ibadah. “Memegang kertas terasa lebih fokus dan tenang dibanding menghadapi notifikasi layar,” ujarnya. Ia pun mengapresiasi aplikasi seperti Quranly dan Niyyah yang membantunya konsisten membaca Al-Qur’an dan menjaga rutinitas keagamaan.
Saudi Arabia sendiri terus meningkatkan layanan digital untuk mendukung ibadah Haji. Namun, Arfah dan banyak Muslim lainnya percaya bahwa koneksi spiritual sejati tetap membutuhkan ruang sunyi—tanpa layar, tanpa kabel—hanya antara hati dan Sang Pencipta.
Dalam forum seperti Muslim Tech Fest, komunitas Muslim global mulai mendiskusikan bagaimana teknologi dapat diseimbangkan dengan nilai-nilai keimanan. Menurut Arfah, tantangannya bukan memilih antara teknologi atau spiritualitas, melainkan membangun kesadaran dalam menggunakannya. “Kita tidak menolak teknologi, tapi juga tak ingin terperangkap olehnya,” tegasnya.
Di tengah pelaksanaan haji yang semakin terdigitalisasi, para jemaah berjalan mengikuti peta digital namun tetap mengangkat doa dari hati. Ini menjadi gambaran nyata bagaimana umat Muslim hidup di antara dua dunia—dunia teknologi modern dan dunia spiritual yang abadi. Yang terpenting adalah terus bertanya: apakah ini mendekatkan kita kepada Allah, atau justru menjauhkan?
Karena terkadang, koneksi paling kuat tidak memerlukan sinyal atau layar—hanya keheningan dan hati yang terarah kepada Ilahi.[sya]