(IslamToday ID) – Laporan eksklusif dari media independen Mesir, Mada Masr, baru-baru ini mengungkap bahwa Arab Saudi tengah mendorong pendirian pangkalan militer Amerika Serikat di Pulau Tiran dan Sanafir. Langkah ini kembali membuka luka lama terkait penyerahan dua pulau strategis tersebut oleh Mesir pada 2017, yang kala itu menuai kecaman luas sebagai bentuk pengabaian terhadap kedaulatan nasional.
Meski pemerintah Mesir tidak mengeluarkan pernyataan resmi, berbagai media yang menjadi corong rezim bergegas memberikan bantahan tidak langsung. Namun, ketidakjelasan posisi resmi ini justru memperdalam kekhawatiran publik, mengingat preseden buruk penyerahan wilayah yang dilakukan oleh Presiden Abdel Fattah al-Sisi tujuh tahun lalu.
Kala itu, Sisi secara terbuka menyatakan bahwa Pulau Tiran dan Sanafir adalah milik Arab Saudi, meski fakta sejarah, geografis, dan hukum menunjukkan sebaliknya. Bahkan, kedua pulau tersebut tercantum secara eksplisit dalam perjanjian perdamaian Camp David antara Mesir dan Israel. Hal ini memunculkan pertanyaan fundamental: jika pulau itu milik Saudi, mengapa kerajaan tersebut tidak menjadi pihak dalam perjanjian tersebut?
Secara strategis, letak Pulau Tiran dan Sanafir sangat vital. Keduanya mengontrol Selat Tiran, jalur laut utama menuju Teluk Aqaba yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan penting Mesir di Sinai bagian selatan dengan pelabuhan Eilat (Israel) dan Aqaba (Yordania). Kontrol atas dua pulau ini berarti menguasai nadi maritim kawasan Sinai dan menentukan dinamika keamanan regional.
Sejak penandatanganan Abraham Accords, Israel kian memperkuat posisinya di kawasan, dengan dukungan penuh AS dan sejumlah negara Teluk. Kesepakatan penyerahan kedaulatan atas Tiran dan Sanafir kepada Arab Saudi—yang disetujui Israel pada 2022—menandai pergeseran kekuatan geopolitik dari Mesir ke kawasan Teluk. Hal ini juga mengurangi kapasitas Mesir untuk memainkan peran signifikan dalam isu Palestina, termasuk saat krisis Gaza berlangsung.
Pentingnya kedua pulau itu tak hanya dari sisi pertahanan, tapi juga ekonomi. Selat Tiran adalah jalur krusial bagi perdagangan dan pariwisata di Sinai selatan. Ancaman terhadap stabilitas kawasan ini bisa berdampak langsung pada pelabuhan Nuweiba, menghambat investasi wisata, dan memperburuk krisis ekonomi Mesir yang sudah akut.
Dalam lanskap geopolitik yang lebih luas, Red Sea kini menjadi arena perebutan pengaruh antara Israel, Iran, Turki, dan kekuatan Teluk. Iran, melalui kelompok Houthi di Yaman, menjadikan Bab el-Mandeb sebagai titik tekan terhadap Israel dan AS. Sementara Turki memperluas jejak militernya di Sudan dan Tanduk Afrika sebagai bagian dari ambisi membangun kembali pengaruh neo-Ottoman.
Dengan demikian, isu Tiran dan Sanafir tidak lagi sebatas konflik Mesir-Saudi. Kontrol atas dua pulau ini kini menjadi instrumen strategis untuk menahan ekspansi Iran, menyeimbangkan pengaruh Turki, dan memperkuat dominasi Israel atas Laut Merah serta jalur menuju Samudera Hindia.
Penyerahan dua pulau ini menunjukkan bagaimana geografi dan geopolitik bersatu dalam proyek hegemonik Israel, dengan dukungan Washington dan restu terukur dari negara-negara Teluk. Di sisi lain, Mesir terancam semakin terpinggirkan secara politik, militer, dan ekonomi di kawasan yang dahulu pernah ia dominasi.
Seorang kepala departemen peta di perpustakaan Berlin pernah mengatakan: “Siapa pun yang tak memahami geografi Tiran dan Sanafir, tak akan pernah mengerti bagaimana wilayah ini dikendalikan.” Kini, pernyataan itu terasa lebih relevan dari sebelumnya. Dalam skema geopolitik baru Timur Tengah, Mesir tampaknya dipaksa bermain defensif di tengah papan catur kekuatan yang makin kompleks dan kompetitif.[sya]