(IslamToday ID) – Laut China Selatan kembali menjadi titik panas geopolitik, dengan serangkaian aksi provokatif dari berbagai negara yang memperkuat klaim teritorial mereka di wilayah kaya sumber daya tersebut. Malaysia, Filipina, dan Vietnam, tiga negara utama Asia Tenggara yang terlibat dalam sengketa ini, kini makin aktif memperkuat posisi mereka, seiring dengan meningkatnya tekanan dari Tiongkok dan ketidakpastian arah kebijakan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump jilid dua.
Manuver Regional di Tengah Bayang-Bayang Beijing
Malaysia baru-baru ini menegaskan komitmennya terhadap eksplorasi minyak dan gas di wilayah perairannya yang juga diklaim oleh China. Di saat yang sama, negara ini memperkuat kehadiran militernya di pulau-pulau lepas pantai Borneo. Filipina pun tak kalah tegas: insiden penyemprotan meriam air oleh kapal penjaga pantai China terhadap nelayan Filipina, serta insiden kandasnya kapal China di dekat Pulau Thitu, meningkatkan kewaspadaan militer di Manila.
Vietnam juga memperlihatkan langkah tegas. Think tank di Beijing mengungkapkan pada 7 Juni bahwa Vietnam tengah melakukan reklamasi besar-besaran dan membangun pelabuhan serta landasan udara militer di sekitar Kepulauan Spratly.
China Makin Agresif, Amerika Menjaga Jarak
China menanggapi apa yang disebut sebagai “pengepungan Barat” dengan memperkuat armada lautnya. Presiden Xi Jinping dalam pidato tahun 2023 menyebut bahwa negara-negara Barat yang dipimpin AS berupaya menekan dan mengelilingi China. Sebagai respons, China memusatkan kekuatan militernya di Laut China Selatan, dengan proyek reklamasi besar-besaran yang mengubah karang menjadi pulau buatan bersenjata sejak 2013.
China kini menjadi produsen kapal perang terbesar di dunia, dengan proyeksi memiliki 440 kapal tempur pada 2030—melampaui AS yang diperkirakan hanya memiliki 300. Beijing juga mengandalkan “milisi maritim” yang terdiri dari ratusan kapal penangkap ikan yang diperkuat dengan meriam air dan lambung baja, aktif mengganggu kapal negara tetangga.
Meski AS merespons dengan patroli freedom of navigation dan memperkuat aliansi dengan Jepang, India, Australia, dan Filipina, pendekatan Washington dinilai lebih simbolis ketimbang efektif. Terlebih lagi, fokus AS kini mulai teralihkan ke Timur Tengah, membuat negara-negara Asia Tenggara harus mengambil inisiatif sendiri.
ASEAN Terpecah, Strategi Hedging Jadi Pilihan
Alih-alih bersatu melalui ASEAN, negara-negara Asia Tenggara justru menempuh strategi hedging—bermanuver di antara AS dan China tanpa terlalu condong ke salah satu pihak. Hambatan utama datang dari keengganan ASEAN untuk mengadopsi pendekatan kolektif terhadap Beijing, sebagian besar karena pengaruh ekonomi China yang kuat serta kedekatan politik Kamboja dan Laos dengan Beijing.
ASEAN sendiri mendorong pembentukan code of conduct yang ironisnya justru melegitimasi klaim China, mengabaikan putusan Pengadilan Arbitrase Internasional tahun 2016 yang membatalkan klaim historis sembilan garis putus-putus (nine-dash line) Beijing.
Tantangan Masing-Masing Negara
Malaysia tetap menjaga hubungan baik dengan China sembari memperluas eksplorasi migas yang kini mulai menyentuh area dalam klaim China. Posisi ini berpotensi menguji hubungan diplomatik Kuala Lumpur-Beijing ke depan.
Vietnam menghadapi dilema besar: wilayahnya kerap diganggu milisi maritim China, tetapi China juga adalah investor dan mitra dagang utama. Vietnam juga bergantung pada aliran Sungai Mekong yang bersumber dari wilayah China, sehingga tidak bisa bersikap terlalu konfrontatif.
Filipina menunjukkan arah lebih tegas. Sejak pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr., Manila mempererat kerja sama militer dengan AS. Namun, sikap pro-AS ini juga membuat China makin agresif terhadap Manila.
Simpulan: Stabilitas di Ujung Tanduk
Dengan tidak adanya pendekatan kolektif yang efektif dari ASEAN dan ketegangan superpower yang kian memuncak, kawasan Laut China Selatan dipenuhi dengan risiko instabilitas. Strategi hedging memberi ruang manuver diplomatik, tetapi pendekatan ini bersifat sementara dan penuh ketidakpastian.
Sampai kapan negara-negara Asia Tenggara bisa terus menjaga keseimbangan ini—antara mempertahankan kedaulatan dan menjaga hubungan ekonomi dengan China—masih menjadi pertanyaan besar. Yang pasti, Laut China Selatan tetap menjadi arena strategis paling dinamis dan rentan di Asia saat ini.[sya]