(IslamToday ID) – Thailand tengah menghadapi krisis politik baru yang berpotensi mengguncang perekonomian nasional, yang saat ini sudah berada di ambang resesi teknikal dan tertekan oleh ketidakpastian perdagangan global.
Meskipun Perdana Menteri (PM) Paetongtarn Shinawatra masih berupaya mempertahankan koalisi pemerintahannya di tengah konflik internal yang membesar, para analis memperingatkan bahwa dampaknya bisa melumpuhkan legislasi penting, mengganggu negosiasi tarif dengan Amerika Serikat (AS), serta menggoyahkan kepercayaan investor terhadap aset-aset Thailand yang memang sudah berkinerja buruk.
Kondisi dapat menjadi lebih parah jika pemerintahan Paetongtarn—yang baru berusia satu tahun—gagal dipertahankan. Gagalnya pemerintahan ini dapat menggagalkan upaya pemulihan ekonomi yang tahun lalu tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Sebelumnya, pendahulu Paetongtarn digulingkan oleh putusan pengadilan, dan ayahnya juga pernah dijatuhkan melalui kudeta militer.
“Ketidakpastian politik yang meningkat dan berpotensi berkepanjangan kini menjadi bayang-bayang bagi ekonomi yang sudah lemah,” ujar Vishnu Varathan, Kepala Riset Makro Asia (di luar Jepang) dari Mizuho Bank Ltd, dalam catatannya. Ia menyarankan agar Bank Sentral Thailand mempertimbangkan pemangkasan suku bunga sebesar 50–75 basis poin. “Dengan kepercayaan bisnis yang sudah tergerus dan sentimen yang rapuh, stimulus tambahan dibutuhkan segera.”
Di sisi lain, penangguhan kenaikan tarif dari AS akan segera berakhir. Hal ini bisa memperparah rantai pasok global dan memperlambat ekonomi dunia. Konflik Israel-Iran yang terus bereskalasi juga berpotensi mengguncang Timur Tengah dan mendorong harga minyak melonjak.
“Jika ketidakpastian politik berlarut, diplomasi bisa tertunda atau terpinggirkan, mengurangi efektivitas Thailand di kancah internasional,” tulis Pipat Luengnaruemitchai, Ekonom Asia Emerging dari Kiatnakin Phatra Securities.
Krisis ini memperdalam persoalan ekonomi domestik, seperti tingginya utang rumah tangga dan lemahnya konsumsi di tengah penurunan pariwisata. Ancaman tarif 36% atas barang ekspor Thailand ke AS—mitra dagang terbesarnya—dikhawatirkan akan menggerus perdagangan dan investasi. Pemerintah bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 menjadi hanya 1,3% hingga 2,3%.
“Kami sudah memproyeksikan resesi teknikal pada paruh kedua tahun ini akibat penurunan ekspor,” kata Burin Adulwattana, Kepala Ekonom di Kasikorn Research Center. “Jika terjadi kekosongan kekuasaan, resesi ini bisa makin dalam.”
Resesi teknikal berarti ekonomi mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut. Terakhir kali Thailand mengalami hal ini adalah saat pandemi Covid-19. Produk domestik bruto (PDB) Thailand hanya tumbuh 0,7% pada kuartal I 2025 dibandingkan kuartal IV 2024.
Kini perhatian tertuju pada apakah akan terjadi kebuntuan politik yang dapat menghambat kebijakan pemulihan ekonomi, termasuk negosiasi tarif dengan Washington dan pengesahan anggaran 2026. Jika belanja negara terganggu, Bank Sentral Thailand bisa dipaksa mengambil peran lebih besar dalam menopang pertumbuhan.
Gejolak politik telah menghantam pasar finansial. Indeks saham acuan Thailand mencatat penutupan terendah sejak Maret 2020 pada Kamis lalu, dengan penurunan hampir 23% sejak awal tahun—terburuk di antara pasar besar dunia. Baht relatif stabil pada Jumat pagi, setelah sebelumnya melemah selama lima hari berturut-turut dan menghapus tren penguatan sejak awal tahun.
Namun, prospek ekonomi yang melemah bisa menjadi peluang bagi pasar obligasi. Obligasi berdenominasi baht tercatat memberikan imbal hasil hampir 10% bagi investor berbasis dolar tahun ini—mengungguli negara-negara Asia Tenggara lainnya, menurut data Bloomberg.
Partai Pheu Thai yang berkuasa masih memiliki peluang bertahan. Meski partai terbesar kedua, Bhumjaithai, keluar dari koalisi, partai-partai lain tetap mendukung sehingga mayoritas tipis masih dimiliki di DPR.
Nasib politik Paetongtarn dan partainya belum jelas, di tengah tekanan oposisi dan kelompok nasionalis yang mendesaknya mundur menyusul bocoran percakapan telepon yang menyinggung militer. Tiga dari sepuluh partai dalam koalisi bertemu pada Kamis untuk menentukan arah koalisi; dua di antaranya menyatakan dukungan kepada Paetongtarn. Namun, Partai United Thai Nation yang ultra-konservatif—dan merupakan kekuatan kedua dalam koalisi dengan 36 kursi—dilaporkan akan menuntut pengunduran dirinya, menurut The Nation.
Jika Paetongtarn bertahan hingga pembukaan sidang parlemen bulan depan, ujian berikutnya adalah pembahasan anggaran 2026 senilai 115 miliar dolar AS. RUU anggaran ini telah lolos pembacaan pertama, namun masih harus melewati dua tahap persetujuan lagi di DPR.
“Meski pemerintah telah menyusun rencana pembangunan infrastruktur dan stimulus fiskal, efektivitasnya akan sangat bergantung pada stabilitas politik dan koordinasi administrasi,” ujar Krystal Tan, ekonom dari ANZ Group Holdings Ltd. “Ketidakstabilan politik bukanlah pertanda baik bagi pelaksanaan kebijakan.”
Namun, menurut Tan, negosiasi tarif kemungkinan tidak akan terganggu karena ditangani langsung oleh menteri-menteri dari Pheu Thai.
Jika pemerintah bertahan, Bank Sentral Thailand diperkirakan akan mempertahankan suku bunga utama di 1,75% pada pertemuan pekan depan dan memangkas sekali lagi di kuartal berikutnya, kata Lavanya Venkateswaran dari Oversea-Chinese Banking Corp. Namun, jika parlemen dibubarkan dan ekonomi memburuk, pemangkasan tambahan 50 basis poin bisa dilakukan hingga suku bunga turun ke 1% pada akhir 2025.
“Terlepas dari bagaimana politik berkembang dalam beberapa pekan ke depan, dampaknya terhadap ekonomi jelas tidak menguntungkan,” ujar Erica Tay, ekonom dari Maybank Securities Pte Ltd. “Investor kemungkinan akan meragukan kredibilitas kebijakan karena risiko kegagalan implementasi.”[sya]