(IslamToday ID) – Armada raksasa Maersk menarik investasinya dari perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat yang diduduki.
Keputusan yang diumumkan pada Senin (23/6/2025), muncul setelah berbulan-bulan tekanan berkelanjutan dari para aktivis pro-Palestina yang menuntut perusahaan pengiriman dan logistik raksasa tersebut memutuskan hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang mendapat untung dari pendudukan Israel di Palestina.
Dalam pernyataannya, Maersk mengatakan, setelah meninjau operasinya di Tepi Barat yang diduduki, pihaknya telah memutuskan untuk mengikuti pedoman Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR). OHCHR memetakan nama-nama perusahaan yang beroperasi di pemukiman tempat sekitar 500.000 orang Israel tinggal yang melanggar hukum internasional.
“Setelah meninjau transportasi baru-baru ini yang terkait dengan Tepi Barat, kami semakin memperkuat prosedur penyaringan kami terkait dengan pemukiman Israel, termasuk menyelaraskan proses penyaringan kami dengan basis data OHCHR dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kegiatan di pemukiman tersebut,” kata perusahaan itu lewat laman Middle East Eye.
OHCHR, yang diberi mandat untuk menyusun daftar bisnis yang mengoperasikan dan mendukung permukiman di Tepi Barat yang diduduki, merilis basis data pada 2020. Dia menyebutkan lebih dari 100 perusahaan yang berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia kepada warga Palestina.
Dunia Terus Memperhatikan
Aktivis yang telah memperjuangkan seruan agar Maersk berhenti bekerja dengan Israel menyambut baik perkembangan tersebut. Meski demikian, mereka mengatakan perusahaan tersebut sekarang perlu menghentikan pengangkutan peralatan militer ke Israel, termasuk bagian penting dari pesawat tempur F-35 miliknya, yang telah digunakan untuk meratakan Gaza.
Aktivis mengeklaim bahwa Maersk telah memainkan peran mendasar dalam melayani tentara Israel selama 20 bulan terakhir khususnya.
Lebih dari 55.000 warga Palestina telah terbunuh akibat perang Israel di Gaza, yang oleh beberapa negara, serta banyak kelompok hak asasi manusia dan pakar internasional, sekarang dianggap sebagai tindakan genosida.
“Maersk terus mendapatkan keuntungan dari genosida rakyat kami – dengan secara rutin mengirimkan komponen F-35 yang digunakan untuk mengebom dan membantai warga Palestina,” kata Aisha Nizar, dari Gerakan Pemuda Palestina (PYM), dalam sebuah pernyataan.
“Kami akan terus membangun tekanan dan memobilisasi kekuatan rakyat hingga Maersk memutuskan semua hubungan dengan genosida dan mengakhiri pengangkutan senjata dan komponen senjata ke Israel,” tambah Nizar.
Nizar mengatakan, keputusan Maersk untuk berhenti bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan di pemukiman tersebut mengirimkan pesan yang jelas kepada industri pelayaran global bahwa kepatuhan terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia dasar bukanlah pilihan.
“Melakukan bisnis dengan pemukiman ilegal Israel tidak lagi layak, dan dunia sedang mengamati untuk melihat siapa yang akan menyusul berikutnya,” tambah Nizar.
Selama setahun terakhir, Maersk telah berada di bawah pengawasan ketat oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia di Denmark, tempat kantor pusatnya berada, dan dari berbagai belahan dunia lainnya karena terus mengangkut komponen militer ke Israel.
Mereka menuntut perusahaan tersebut “memutus hubungan dengan genosida”. Pada bulan Februari, hampir 1.000 aktivis melakukan protes di kantor pusatnya di Kopenhagen. Protes juga terjadi di New York dan Maroko.
Pada Maret, Maersk juga ditambahkan ke daftar resmi Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).Maersk tidak segera membalas permintaan Middle East Eye untuk memberikan komentar.[sya]