(IslamToday ID) – India kembali mendapat sorotan tajam atas kebijakan pembongkaran paksa pemukiman kumuh yang dinilai secara tidak proporsional menargetkan komunitas Muslim. Strategi yang dijuluki “politik buldoser” ini dikritik sebagai bentuk hukuman kolektif yang menyerupai praktik penghancuran rumah warga Palestina oleh Israel.
Kebijakan tersebut mencuat setelah konflik pada 22 April di Pahalgam, Kashmir. Empat hari setelah insiden itu, otoritas India melakukan penggerebekan di Danau Chandola, Ahmedabad—lebih dari 1.500 kilometer dari lokasi serangan. Pemerintah setempat mengklaim operasi tersebut menyasar imigran ilegal yang diduga terkait terorisme. Namun, laporan lapangan menunjukkan bahwa ribuan rumah milik Muslim dihancurkan, menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Pemerintah kota Gujarat, negara bagian asal Perdana Menteri Narendra Modi, menyebut operasi ini sebagai bagian dari kampanye pembersihan kawasan yang dianggap sebagai perambahan. Pada bulan Juni, lebih dari 8.500 bangunan dihancurkan dalam satu hari oleh 50 ekskavator dan 3.000 aparat keamanan.
Laporan Amnesty International menyoroti bahwa penggusuran semacam ini kerap dilakukan tanpa proses hukum yang semestinya. Sejak 2022, diperkirakan lebih dari 153.000 rumah informal telah dihancurkan di India, menyebabkan lebih dari 700.000 orang terusir. Amnesty juga mencatat bahwa mayoritas penggusuran terjadi di kawasan berpenduduk Muslim.
Kritik juga datang dari pengadilan tinggi Punjab dan Haryana, yang mempertanyakan apakah pembongkaran massal di distrik Nuh, Haryana, merupakan bentuk “pembersihan etnis”. Sekitar 750 bangunan dihancurkan dalam empat hari setelah bentrokan komunal pada 2023. Distrik tersebut memiliki populasi Muslim sekitar 79 persen.
Para analis menyebut kebijakan ini sebagai instrumen politik yang digunakan partai penguasa, Bharatiya Janata Party (BJP), untuk mengkonsolidasikan basis dukungan nasionalis Hindu. Kepala Menteri Uttar Pradesh, Yogi Adityanath, bahkan dijuluki “Bulldozer Baba” atas kebijakannya yang keras terhadap komunitas Muslim.
Selain pemukiman kumuh, rumah para aktivis dan pengusaha Muslim juga menjadi sasaran. Di Lucknow, ribuan rumah dihancurkan dengan dalih pembangunan kawasan wisata, meski penduduk mengklaim telah tinggal di sana selama lebih dari 50 tahun.
“Penggusuran ini tidak menghasilkan kota bebas kumuh, melainkan meminggirkan kaum miskin hingga tak terlihat,” tulis Amnesty dalam laporannya. Organisasi itu juga mencatat dampak psikologis dan sosial yang mendalam, termasuk hilangnya ikatan komunitas, mata pencaharian, serta akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.
Penggunaan buldoser sebagai simbol tindakan negara kini menjadi sorotan dunia internasional, memunculkan pertanyaan serius soal komitmen India terhadap prinsip-prinsip hukum, hak asasi manusia, dan pluralisme yang dijamin dalam konstitusinya.[sya]