(IslamToday ID) – Bank for International Settlements (BIS) memperingatkan bahwa inflasi di Amerika Serikat (AS) berisiko kembali meningkat seiring ekonomi global terguncang akibat kebijakan perdagangan Donald Trump yang dinilai mengganggu stabilitas.
Skenario suram ini disampaikan oleh General Manager BIS, Agustin Carstens, dalam laporan tahunan terakhirnya yang memaparkan bagaimana kerentanan global semakin terungkap sejak Trump menjabat pada Januari lalu.
“Kita seharusnya menuju soft landing — semua berjalan sesuai rencana,” ujar mantan gubernur bank sentral Meksiko itu kepada wartawan. “Kemudian datang periode volatilitas besar dengan ancaman tarif yang menyulitkan konvergensi inflasi menuju 2% di sejumlah negara.”
Laporan tersebut, yang dirilis Minggu (29/6/2025), menggambarkan ketidakpastian ekonomi di level yang biasanya terkait dengan krisis, didorong oleh kenaikan bea impor yang diberlakukan Gedung Putih, meskipun saat ini tertahan selama masa jeda 90 hari.
Menurut BIS, prospek pertumbuhan ekonomi melemah sementara risiko terhadap stabilitas harga konsumen, keuangan publik, dan sistem keuangan semakin meningkat. Menghadapi tantangan ini, BIS menyerukan bank sentral agar tetap fokus pada tugas utama mereka demi menjaga kepercayaan dan meningkatkan efektivitas kebijakan.
Carstens menyoroti tekanan khusus yang mungkin dihadapi bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) dalam situasi saat ini. Gubernur The Fed, Jerome Powell, disebut tetap kukuh menolak desakan Gedung Putih untuk memangkas suku bunga.
“Di AS, bank sentral bisa menghadapi skenario sulit ketika ada tekanan inflasi yang meningkat atau ekspektasi inflasi yang menyimpang di tengah perlambatan ekonomi,” jelasnya. “Ini adalah situasi yang biasanya paling sulit dihadapi bank sentral.”
Dalam pidato kepada para bankir sentral, Carstens menegaskan bahwa kredibilitas dalam pengelolaan ekonomi tak hanya bergantung pada kebijakan moneter.
“Keyakinan publik tidak boleh berhenti di pintu bank sentral. Itu harus mencakup seluruh kebijakan publik. Masyarakat harus yakin bahwa para pembuat kebijakan dan pejabat terpilih bertindak untuk tujuan yang sah dan melakukannya secara efektif,” ujarnya.
Laporan BIS berulang kali menyoroti risiko inflasi, termasuk bagaimana gangguan perdagangan bisa memperburuk tekanan pada ekonomi yang sudah tertekan oleh populasi yang menua dan kekurangan tenaga kerja, serta mengganggu pasokan barang.
BIS juga menekankan bahwa sensitivitas konsumen yang meningkat pasca-pandemi, dikombinasikan dengan ekspektasi biaya hidup yang tinggi, berpotensi memunculkan tantangan baru bagi stabilitas harga.
“Itu seperti pepatah ‘sekali digigit, dua kali waspada’,” kata Hyun Song Shin, penasihat ekonomi BIS. “Sangat penting untuk memastikan kenaikan harga satu kali tidak berubah menjadi episode inflasi berkepanjangan.”
Risiko lainnya adalah beban utang negara yang mencapai rekor di sejumlah negara. Di antara anggota OECD, pembayaran bunga utang sebagai persentase PDB mencapai 4% tahun lalu dan diperkirakan terus naik.
“Risiko terhadap inflasi dan stabilitas keuangan bisa lebih mudah timbul atau diperparah oleh tekanan di pasar obligasi pemerintah,” tulis BIS. “Kekhawatiran soal keberlanjutan fiskal dapat menimbulkan tantangan pembiayaan ulang dan berpotensi mengguncang ekspektasi inflasi.”
Di sisi lain, kenaikan harga yang bergejolak atau bertahan lama juga berisiko mendorong imbal hasil obligasi pemerintah naik.
Laporan itu juga menyoroti bagaimana pasar keuangan global kini lebih saling terhubung, sehingga gejolak di satu negara cepat menyebar ke negara lain.
“Kerentanan keuangan makro berpotensi memperkuat dampak perkembangan ekonomi, termasuk perlambatan akibat perubahan kebijakan perdagangan dan ketidakpastian yang meningkat,” sebut laporan itu.
BIS mengusulkan berbagai langkah kebijakan untuk mendorong pertumbuhan dan produktivitas, seperti melonggarkan pasar tenaga kerja, mengurangi birokrasi, menghapus hambatan perdagangan, meningkatkan investasi publik, serta memperbaiki kondisi fiskal.
Di bidang pengawasan, BIS memperingatkan agar negara tidak melonggarkan regulasi perbankan, dan menyerukan pemantauan ketat terhadap lembaga keuangan non-bank.
BIS juga menekankan pentingnya bank sentral menyeimbangkan risiko pertumbuhan dan inflasi, mengingat era di mana konsumen menoleransi gejolak harga tampaknya sudah berakhir.
“Dunia itu sudah berakhir,” kata Andrea Maechler, Deputi General Manager BIS. “Kini sensitivitas terhadap kenaikan harga jauh lebih besar, dengan kekhawatiran bahwa ini bukan sekadar kenaikan harga biasa, tapi bisa memengaruhi dinamika inflasi.”[sya]