(IslamToday ID) – ASEAN kini menghadapi tekanan tajam jelang berakhirnya masa jeda 90 hari kenaikan tarif “resiprokal” dari Amerika Serikat yang digagas Presiden Donald Trump. Batas akhir negosiasi adalah 9 Juli 2025, dan banyak negara di kawasan khawatir tawaran AS tidak hanya menuntut surplus perdagangan, tapi juga dapat mengganggu hubungan dagang dengan China, mitra ekonomi terbesar mereka .
Surplus Perdagangan: Masalah & Tawaran
ASEAN selama ini mencetak surplus besar terhadap AS. Negara seperti Vietnam dan Kamboja sempat dikenai tarif tinggi hingga 46–49%, lebih tajam dibanding hanya 10% untuk Singapura. Upaya awal ASEAN—mengurangi surplus melalui peningkatan impor dari AS—belum membuahkan hasil konkret dan menempatkan negara-negara di persimpangan geopolitik antara tekanan Washington dan sensitifitas Beijing .
Model Vietnam sebagai Rujukan
Vietnam menjadi pionir kesepakatan bilateral. Melalui perjanjian sementara, tarifnya disunat menjadi 20%, namun impor barang yang diduga “transshipment” dari China tetap dikenakan tarif 40%. Sebagai kompensasi, Vietnam juga membuka akses bebas bea untuk produk AS. Model ini dinilai semakin mengikis cakupan pasokan dari China, meskipun menimbulkan risiko ketegangan baru dengan Beijing .
Strategi Negara-Negara ASEAN
Beragam pendekatan diterapkan oleh ASEAN:
Indonesia bergerak cepat dengan mengajukan proposal dagang dan investasi senilai USD 34 miliar, termasuk pembelian energi AS dan pembukaan akses ke mineral penting—sebagai upaya menghindari tarif hingga 32%.
Malaysia, sebagai ketua ASEAN, mendorong strategi kolektif dan menolak model bilateral demi menjaga kepentingan anggota lain.
Thailand, Filipina, Brunei, serta negara-negara kecil lainnya, memilih fokus menguatkan buffer domestik dan menyiapkan skenario mitigasi jika tarif diberlakukan .
Geopolitik Dagang pada Titik Nadir
ASEAN kini diapit oleh kepentingan AS yang berupaya mengecilkan dominasi China dalam rantai pasok, sementara Beijing mendesak negara-negara anggota agar menjaga citra kemitraannya . Keputusan ASEAN sekarang akan menjadi tolok ukur sejauh mana blok regional tersebut bersedia membatasi hubungan dagang tradisional dengan China.
Lebih jauh lagi, pertanyaan besar muncul: apakah ASEAN mampu menjaga kemandirian kebijakan ekonomi di tengah persaingan geopolitik–dagang global? Langkah-langkah jangka pendek sejatinya memberikan ruang “bernafas” menjelang pemberlakuan tarif—namun tantangan yang lebih besar adalah keberlangsungan negosiasi pasca-9 Juli.[sya]