(IslamToday ID) – Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang terjadi di banyak perguruan tinggi negeri (PTN) adalah buntut dari Permendikbudristek No 2 Tahun 2024. Kemudian ada aturan lain yang juga turut mempengaruhi yakni Keputusan Mendikbudristek No 54 Tahun 2024.
“Setelah kita kulik-kulik, dan ini jawaban dari pihak rektorat. Itu (UKT) mengacu pada Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 dilanjutkan Keputusan Mendikbudristek No 54 Tahun 2024 yang mengatur tentang SSBOPT,” kata Koordinator Isu Perguruan Tinggi BEM SI Maulana Ihsanul Huda dikutip dari Republika, Sabtu (18/5/2024).
Presiden BEM Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu menjelaskan, di Unsoed pihaknya sudah melakukan berbagai upaya. Mulai dari aksi demonstrasi, audiensi langsung dengan pihak rektorat, tapi tak kunjung menemukan titik temu. Nilai UKT masih belum mengalami perubahan signifikan.
“Contoh di fakultas saya, hanya turun di golongan terbesar Rp 81.000 (dari nilai sebelumnya Rp 14 juta). Itu betul-betul jadi keresahan kami. Ini bukan di Unsoed saja. Di Universitas Mataram, Universitas Bengkulu, Universitas Negeri Yogyakarta, UNS, Undip, Unes, UIN Jakarta, Unibraw juga sedang mengalami kenaikan,” tuturnya.
Di Unsoed sendiri, katanya, mahasiswa resah dengan angka kenaikan UKT yang mencapai 300-500 persen. Di Fakultas Peternakan, kampusnya, kenaikan terjadi dari yang sebelumnya Rp 2,7 juta melonjak jauh menjadi Rp 14 juta di tingkat yang paling tinggi. Sebab itu, menurutnya, menyebabkan mahasiswa marah.
“Maka kita hadirkan di tingkat nasional. Karena bukan Unsoed saja, tapi juga di banyak universitas. Maka kami BEM SI ke sini (DPR RI),” katanya.
Maulana menambahkan, di Unsoed Peraturan Rektor No 9 Tahun 2024 yang mengatur soal UKT masih terus berjalan. Di sisi lain, waktu registrasi online juga terus berjalan. Sebab itu, mahasiswa yang baru masuk kuliah benar-benar dikejar waktu.
“Khususnya di Unsoed terdata lebih dari 100 orang masih merasa sangat tidak sanggup dengan besaran UKT. Itu salah satu rasa pedih kita sebagai kakak tingkatnya. Maka kami terus berjuang untuk adik-adik kita,” jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan tidak semua lulusan SMA/SMK wajib masuk ke perguruan tinggi. Sebab, perguruan tinggi termasuk ke dalam tertiary education atau edukasi tersier, bukan wajib belajar.
“Pendidikan tinggi ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SMA/SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib,” ucap Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Tjitjik Srie Tjahjandarie, Rabu (15/5/2024).
Ia mengatakan, pendidikan tinggi berbeda dengan wajib belajar, yakni pendidikan tingkat SD hingga SMA/SMK. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pendanaan pemerintah untuk pendidikan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Sebab, hal itu adalah amanat undang-undang.
“Bagaimana untuk pendidikan tinggi? Tentunya pemerintah tetap bertanggung jawab. Tapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN),” terangnya.
Ia menjelaskan, idealnya jumlah BOPTN yang diberikan itu sama dengan biaya kuliah tunggal (BKT). Jika pemerintah bisa memberikan pendanaan BOPTN sama dengan BKT, maka pendidikan tinggi itu akan gratis. Tetapi, yang jadi persoalan adalah dana pendidikan Indonesia yang tidak mencukupi.
“Karena prioritas utama adalah untuk pendidikan wajib. Nah, selama ini bantuan BOPTN ke perguruan tinggi itu belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidik,” katanya.
Karena itu, kata Tjitjik, mau tidak mau diperlukan peran serta masyarakat atau gotong-royong untuk mendidik bangsa in. Menurutnya, gotong royong diperlukan agar masyarakat bisa mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan harapan dapat semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. [wip]