(IslamToday ID) – Pemerintah diminta untuk memperhatikan kelas menengah, generasi Z, dan pekerja mandiri yang terdampak langsung dari aturan wajib iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diteken Presiden Jokowi.
Seperti diketahui, pemerintah memperbarui aturan mengenai iuran Tapera melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 25 Tahun 2020 menjadi PP No 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, yang ditandatangani Jokowi pada 20 Mei 2024.
Anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purnama mengatakan aturan ini akan berdampak luas sehingga perlu diberikan beberapa catatan. Pertama, terkait golongan kelas menengah yang sudah memiliki rumah, misalkan sudah telanjur membelinya atau dari warisan orang tua, tapi masih juga diwajibkan untuk ikut program ini.
“Dalam aturan PP No 25/2020 (tidak direvisi) disebutkan bagi peserta non-MBR (Masyarakat Penghasilan Rendah), maka uang pengembalian simpanan dan hasil pemupukannya dapat diambil setelah kepesertaan Tapera-nya berakhir, yaitu karena telah pensiun, telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri, meninggal dunia, atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut,” kata politisi PKS ini dikutip dari Tempo, Rabu (29/5/2024).
Ia mengatakan PKS mengusulkan golongan kelas menengah ini dapat dibantu untuk dapat membeli properti yang produktif, misalnya ruko dan sebagainya. Sehingga dengan demikian akan semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas menengah.
“Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) tahun 2023 menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi Jokowi saat ini cenderung melupakan kelas menengah,” ujarnya.
Padahal, kata Suryadi, pemerintah harus fokus pada pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif karena mereka adalah motor utama pembangunan jangka panjang. Ia meminta agar kelas menengah juga diperhatikan.
Di satu sisi, katanya, penghasilan mereka melebihi kriteria MBR sehingga tidak dapat membeli hunian subsidi. Namun di sisi lain, penghasilan mereka juga masih pas-pasan untuk membeli hunian non-subsidi. Sehingga akan semakin terbebani jika harus mencicil rumah sendiri, tapi juga masih harus menyisihkan uang untuk Tapera.
Suryadi juga meminta agar kelas menengah tanggung seperti generasi milenial dan gen Z saat ini lebih khusus lagi diperhatikan.
“Impian mereka untuk punya rumah sendiri akan menjadi semakin sulit terwujud karena penghasilannya tak pernah cukup untuk mencicil KPR. Dan tidak mungkin harus menunggu lama pensiun atau berusia 58 tahun baru dapat membeli rumah,” ujar anggota DPR dari Dapil NTB I ini.
Suryadi mengatakan iuran Tapera juga bakal berdampak ke pekerja mandiri yang pendapatannya tidak tetap. Bahkan, pekerja mandiri tidak ada penghasilan sama sekali.
“Tentunya iuran untuk pekerja mandiri ini perlu diatur oleh BP Tapera secara bijaksana dan perlu diklasifikasikan dengan baik agar tidak memberatkan para pekerja mandiri,” tuturnya.
Selanjutnya, terkait penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), Suryadi mengatakan ada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No 242/KPTS/M/2020. Keputusan ini mengatur batasan maksimal penghasilan MBR pada kelompok sasaran KPR Sejahtera, KPR SSB (Subsidi Selisih Bunga), dan SSM (Subsidi Bantuan Uang Muka), yaitu maksimal Rp 8 juta per bulan.
“Hal ini perlu dikaji lebih dalam apakah batasan ini perlu ditingkatkan, mengingat saat ini masih banyak rumah bersubsidi yang terbengkalai karena tidak diserap oleh masyarakat,” katanya.
Fraksi PKS juga meminta evaluasi terhadap pelaksanaan Tapera sejak 2020 berdasarkan PP No 25/2020, apakah peserta Tapera yang MBR memang mengambil jatahnya untuk membeli rumah.
“Juga perlu dievaluasi apakah peserta non-MBR yang sudah pensiun dan ingin mencairkan Tapera tidak mengalami prosedur yang rumit dan berbelit, terutama yang berdomisilinya di daerah,” terangnya.
Catatan terakhir Fraksi PKS yakni mendorong agar proses pemupukan atau pengembangan dana Tapera ini harus diawasi secara ketat. Suryadi mendesak agar pemilihan manajer investasi pada BP Tapera yang diberi tugas untuk mengelola dan mengembangkan dana Tapera ini harus transparan dan akuntabel dan diawasi secara ketat.
“Hal ini diperlukan agar dana Tapera tidak mengalami penyalahgunaan seperti pada kasus Jiwasraya dan Asabri, dan tidak dimasukkan dalam proyek-proyek yang berisiko tinggi seperti proyek IKN atau jangan sampai dialokasikan ke program pemerintah lainnya,” tutur Suryadi.
PP No 21 Tahun 2024 mewajibkan pekerja swasta, ASN, dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi peserta Tapera. Sedangkan yang berpenghasilan di bawah upah minimum tidak wajib, tapi dapat menjadi peserta. Batas usia peserta minimal 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.
Pekerja diwajibkan membayar iuran bulanan Tapera sebesar 3 persen dari gaji atau upah, dengan rincian 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja itu sendiri. Sedangkan besaran simpanan peserta Tapera sebesar 3 persen penghasilan untuk pekerja mandiri, semisal petani, seniman, pedagang, atau ojol ditanggung sendiri secara penuh oleh pekerja mandiri. [wip]