(IslamToday ID) – Kabid Studi dan Advokasi Kebijakan Publik Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Usman Hamid menyatakan PP Muhammadiyah semestinya menolak izin tambang untuk ormas keagamaan. Alasannya, hasil Muktamar ke-48 Muhammadiyah pada 2022 lalu menyebut kerusakan lingkungan sebagai salah satu masalah kemanusiaan yang universal.
“Kalau dilihat dari seluruh hasil muktamar Muhammadiyah, mestinya jelas menolak. Karena di dalam muktamar Muhammadiyah di Surakarta saya kira menjelaskan secara baik problem kemanusiaan secara universal, tentang kehancuran ekologis, tentang kemunduran politik di Indonesia,” kata Usman, Kamis (4/7/2024).
Ia mengatakan, izin tambang untuk ormas keagamaan jelas sangat berseberangan dengan keyakinan agama Islam yang merupakan dasar hukum yang dipegang oleh Muhammadiyah. Sebab, segala bentuk pertambangan yang ada di Indonesia saat ini, khususnya di Halmahera dan Morowali, sangat merusak lingkungan.
“Bukan mau mengatakan bumi tidak bisa dikelola sama sekali, tapi kita tahu bahwa dalam 10 tahun terakhir atau bahkan dalam 15 tahun hutan-hutan di Indonesia itu hancur, entah itu untuk perkebuman sawit, pertambangan emas, batubara, sekarang mineral nikel,” ujar Usman dikutip dari Kompas.
Direktur Eksekutif Amnesty International ini juga menyinggung pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang kerap muncul di berbagai proyek pertambangan. Ia mengaku dapat banyak laporan dari warga yang kehilangan hak lingkungan dan kesehatan akibat aktivitas tambang.
“Mungkin kita tidak perlu sampai menyombongkan diri kita menolak, tapi saya kira kemaslahatan tambang yang begitu ugal-ugalan di masa pemerintahan Jokowi sudah jelas tidak ada maslahatnya untuk rakyat,” jelas Usman.
Hingga saat ini, PP Muhammadiyah belum mengeluarkan sikap resmi terkait dengan kebijakan pemerintah yang memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas keagamaan.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, pihaknya masih terus melakukan kajian untuk memutuskan apakah menerima atau menolak kebijakan tersebut.
“Masih melakukan kajian dari berbagai aspek dan saran-saran dari pakar, praktisi tambang, peraturan, dan hukum Islam,” ucap Mu’ti. [wip]