(IslamToday ID) – Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengungkapkan, bahwa masyarakat Pulau Rempang diintimidasi dan menjadi korban tindak kekerasan oleh belasan orang berpakaian preman, Rabu kemarin.
“(Berita itu) berasal dari sumber kredibel Amnesty di LBH Pekanbaru dan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang,” jelas Wirya dalam keterangan tertulis, Rabu (18/9/2024).
Berdasarkan keterangan warga Rempang, kata Wirya, yang dihimpun Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, intimidasi dan kekerasan yang dialami warga Pulau Rempang terjadi di administrasi Kampung Sungai Bulu, tepatnya di jalan arah masuk ke kawasan Goba sekitar pukul 10.45 WIB.
Wirya menceritakan, kejadian bermula saat para warga tengah berjaga di masjid di jalan masuk ke Goba, didatangi oleh belasan orang berpakaian preman. Kelompok orang berpakaian preman itu, lanjut dia, kemudian memaksa masuk ke wilayah yang dijaga warga dan mengklaim bahwa kawasan tersebut adalah wilayah kerja mereka, namun warga tetap bertahan dan berjaga, sehingga akhirnya mengalami intimidasi dan kekerasan.
Dia juga menjelaskan, dokumentasi video dari warga setempat yang dihimpun Tim Advokasi menyorot ketegangan yang terjadi saat perwakilan dari kelompok orang berpakaian preman melancarkan aksi intimidatif dengan membentak ibu-ibu yang bertahan di lokasi.
“Tim Advokasi juga mengungkapkan sebanyak tiga orang warga mengalami luka-luka dan belasan lainnya menjadi korban pemukulan,” lanjut Wirya
Menurut dia, salah satu korban mengalami luka di bagian pelipis akibat dipukul dengan helm dan seorang lagi wajahnya lebam setelah dipukul dengan kayu, sedangkan korban lainnya, seorang perempuan, tangannya terkilir akibat ditarik secara paksa.
Dari hasil pantauan Tim Advokasi, Wirya mengaku, tindakan sekelompok orang berpakaian preman yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat Pulau Rempang ini masih terus terjadi.
Deputi Direktur Amnesty itu menyampaikan, sebelumnya warga juga mengalami teror dan alat peraga yang digunakan mereka untuk menolak PSN Rempang Eco City dirusak. Selain itu, dia memaparkan, banyak proyek infrastruktur skala besar di bawah PSN telah berdampak serius pada kehidupan masyarakat adat, yang hak atas tanah, budaya, dan kearifan lokal sering diabaikan.
“Sedangkan masyarakat adat yang bersuara kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan hak mereka dalam konflik agraria kerap menghadapi seranganserangan,” tegas Wirya.
Sebelum insiden di Rempang tersebut, Amnesty International Indonesia mencatat, dari Januari 2019 hingga Maret 2024, setidaknya ada delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 90 korban, termasuk kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan fisik. [amp]