(IslamToday ID) – Menjelang acara pelantikan presiden terpilih Prabowo Subianto, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, pemerintah baru harus menjalankan kewajibannya pada perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), yang gagal dipenuhi oleh pemerintahan sebelumnya.
“Pemerintah baru harus segera mengambil langkah-langkah efektif untuk menegakkan HAM bagi semua warga, mengoreksi kebijakan pemerintahan yang lama dan memastikan adanya pertanggungjawaban negara atas setiap pelanggaran HAM yang terjadi,” tutur Usman dalam keterangan tertulis, Jumat (18/10/2024).
Dia menyebut, pemerintahan Jokowi selama ini gencar menjalankan agenda pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi yang dibayang-bayangi oleh pola pelanggaran serius terhadap HAM yang juga sekaligus mengkhawatirkan.
“Pelanggaran-pelanggaran tersebut mulai dari penindasan atas kebebasan berekspresi, penyingkiran hak komunitas adat, perusakan lingkungan, peningkatan konflik di Papua, hingga penguatan budaya impunitas, merupakan ciri mencolok pelanggaran pemerintah yang lama terhadap kewajiban dan komitmen internasional Indonesia di bidang HAM,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia itu.
Usman melanjutkan, pemerintahan yang baru harus menjadikan prioritas utama untuk mengakhiri pelanggaran HAM yang semakin buruk sekaligus memastikan terwujudnya ruang warga untuk bersuara dan berpartisipasi secara inklusif dalam urusan pengambilan kebijakan publik.
Menurut dia, Selama pemerintahan Jokowi, para pembela HAM dan warga biasa menghadapi tindakan represi, meskipun pemerintah Indonesia mengklaim kemajuan dalam HAM dan supremasi hukum. Dari Januari 2019 hingga Oktober 2024, kata Usman, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 454 kasus serangan terhadap 1262 pembela HAM, termasuk pegiat masyarakat adat, jurnalis, dan aktivis lingkungan.
“Salah satu contoh yang paling mencolok adalah kekerasan terhadap aksi-aksi protes yang damai maupun perbedaan pendapat,” ungkap Usman.
Selain itu, kata dia, demonstrasi yang menentang undang-undang kontroversial dihadapi dengan kebijakan dan tindakan yang represif oleh aparat keamanan, dengan banyak laporan tentang adanya intimidasi, pelecehan, penggunaan kekerasan yang berlebihan, penangkapan sewenang-wenang, dan perlakuan yang merendahkan.
Usman menjelaskan, ini termasuk aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 dan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 2024, maupun aksi menolak kebijakan pembangunan seperti proyek strategis nasional yang mengancam hak-hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.
“Pemerintah baru harus menyadari bahwa aksi protes bukan ancaman bagi negara, tetapi sendi yang fundamental dari pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, seperti yang dijamin oleh Konstitusi dan perjanjian HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia,” ucap Usman Hamid.
Maka, kata Usman, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tetap menjadi UU yang sangat bermasalah yang terus mengkriminalisasi pembela HAM dan membungkam suara-suara kritis di Indonesia meskipun telah direvisi dua kali, pada 2016 dan 2024.
Usman menambahkan, selama bertahun-tahun, undang-undang ini telah berubah menjadi alat untuk menekan kritik terhadap pemerintah, membungkam hak atas kebebasan berekspresi, dan mengintimidasi mereka yang berusaha meminta pertanggungjawaban pihak berwenang atas pelanggaran HAM. Pembela HAM sering menjadi sasaran kriminalisasi hanya karena berbicara tentang dugaan korupsi, kerusakan lingkungan, atau penyalahgunaan kekuasaan.
Hal itu, jelas dia, dari Januari 2019 hingga September 2024, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 521 kasus dengan 554 orang didakwa berdasarkan Undang-Undang ITE atas tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
“Tindakan ini mengungkapkan penindasan dan impunitas yang sudah mendarah daging, di mana pemerintah gagal memberikan kebebasan bagi rakyat untuk mengungkapkan pandangan mereka dan menyampaikan keluhan mereka,” ujar Usman Hamid. [nnh]