(IslamToday ID) – Peneliti Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, menyampaikan beberapa catatan pendidikan di Indonesia selama 10 tahun terakhir, yang masih menghadapi berbagai tantangan mendasar, dan berkontribusi pada rendahnya kualitas serta akses pendidikan.
“Selama 10 tahun terakhir, kenapa sampai 2024, kita masih punya 4,2 juta anak yang sekolah aja tidak bisa, ada karena disabilitas dan yang paling banyak karena faktor ekonomi,” tutur Ubaid Matraji pada diskusi dan konfrensi pers tentang pendidikan, di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (22/10/2024).
Ubaid merinci, untuk yang tertinggi penyebabnya tidak punya biaya 39 persen, kedua harus bekerja mencari nafkah 18 persen, ini mayoritasnya laki-laki, sementara karena menikah muda 11 persen, ini mayoritasnya perempuan. Lalu, ada korban kekerasan 10 persen, Ijazah ditahan sekolah 9 persen, jarak sekolah jauh 6 persen, disabilitas 5 persen dan lainnya 2 persen.
Dia menyebut, dari jumlah anak yang putus atau tidak sekolah di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah perihal salah tafsir, pada kebijakan sekolah gratis, tapi hanya berlaku untuk sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta tetap berbayar.
“Selama tafsir sekolah tanpa dipungut biaya hanya untuk sekolah negeri, maka akan menjadi masalah,” ungkapnya.
Ubaid menjelaskan, jangan jauh-jauh diluar Jawa, di Jakarta saja kursi untuk sekolah negeri hanya 30 persen, artinya 70 persen anak sekolah di Jakarta masuknya sekolah swasta.
“Kalo mereka masuk sekolah swasta, karena gagal di PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), nanti ada uang buku, spp, ekskul dan uang seragam dan seterusnya, ini sangat memberatkan orang tua,” jelas Ubaid.
Selain itu, kata dia, mutu sekolah masih sangat memprihatinkan, sejak tahun 2000 Indonesia masuk dalam negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), “untuk diukur, dibandingkan dengan negara-negara dalam kemampuan dasar, yaitu membaca, matematika dan sains,” kata dia.
Ubaid mengungkapkan, dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara, Indonesia hanya lebih baik dari Filipina dan Kamboja, tertinggal jauh dari yang lain, juga dibawah angka rata-rata dunia, apalagi jika dibandingkan Singapura yang berada di peringkat pertama dunia.
Hal itu, menurutnya, selama 10-20 tahun terakhir, kita mengalami perubahan kurikulum, mulai dari kurikulum berbasis kompetensi, berubah lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kemudian kurikulum 2013, selanjutnya kurikulum prototipe dan terakhir kurikulum merdeka.
“Dan itu (perubahan kurikulum), tidak merubah apa-apa dari kualitas (pendidikan di Indonesia) ini,” ujar Peneliti JPPI itu.[nnh]