(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pernyataan Presiden Prabowo untuk menghentikan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan mencapai 100 persen energi terbarukan pada 2040 merupakan sinyal positif, namun membutuhkan nilai investasi besar-besaran.
Ambisi Presiden Prabowo untuk mewujudkan rencana swasembada energi hijau, dalam mempercepat transisi energi di Indonesia dan mendukung pembatasan pemanasan bumi, disampaikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada Selasa (19/11) lalu.
“(Rencana baik itu) perlu dilanjutkan dengan perintah tegas kepada para menteri terkait dan PLN untuk menyusun target, peta jalan yang rinci, rencana yang terukur, yang didukung dengan kebijakan dan regulasi yang selaras untuk mencapai target tersebut,” kata Fabby dalam keterangan tertulis yang diterima IslamToday ID di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Direktur Eksekutif IESR itu menyatakan, pengakhiran operasi PLTU batu bara adalah langkah krusial untuk mencapai target transisi energi berkeadilan. Berdasarkan analisis IESR, untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, Indonesia perlu mengurangi kapasitas dan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara sebesar 11 persen pada 2030, lebih dari 90 persen pada 2040, dan menghentikan operasional PLTU seluruhnya di 2045.
Langkah ini juga, tambahnya, memungkinkan penetrasi energi terbarukan mencapai 40 persen dalam bauran energi primer di sektor listrik pada 2030. Mengutip studi IESR berjudul ‘Beyond 443 GW’ menunjukkan, Indonesia mempunyai total potensi teknis energi surya, angin, air dan biomassa 7.879,43 gigawatt (GW). Dengan potensi ini, kata Fabby, Indonesia dapat mengandalkan sumber daya energi terbarukan untuk bertransisi secara cepat dan berbiaya rendah.
“Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN perlu segera menyelesaikan peta jalan pengakhiran operasi PLTU sebagaimana yang diamanatkan oleh Perpres No. 112/2022 dengan jangka waktu 2040,” ucap Pakar Energi itu.
Dengan demikian, sambungnya, pemerintah dapat menentukan secara pasti tahapan pengakhirannya, skema pendanaan dan pembiayaan, pembangunan kapasitas energi terbarukan dan penyimpan energi, dan mempersiapkan rencana untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi bagi pekerja yang terdampak.
“Kami menyarankan agar segera dibentuk gugus tugas dekarbonisasi kelistrikan yang berisi wakil lintas kementerian dan PLN, dipimpin oleh figur yang tegas dan memahami persoalan dan melapor langsung ke Presiden,” ujar Fabby.
Fabby juga mengingatkan, bahwa pengakhiran PLTU batu bara juga memerlukan investasi besar-besaran, untuk membangun pembangkit energi terbarukan, penyimpan energi untuk menggantikan listrik yang dibangkitkan PLTU, memenuhi pertumbuhan permintaan listrik, dan menjaga kehandalan.
Dia menyebutkan, butuh investasi sekitar USD 1,2 triliun hingga 2050 untuk memenuhi kebutuhan energi dengan sumber daya terbarukan, terutama energi surya, pembangunan penyimpan energi dan jaringan transmisi.
Selain itu, menurut Fabby, diperlukan biaya untuk mengakhiri operasi PLTU secara dini, khususnya yang memiliki kontrak dengan PLN hingga 2056, “pemerintah dapat mencoba skema blended finance (pembiayaan gabungan) dan transition carbon credit (karbon kredit dari proyek yang mendukung transisi energi) untuk membiayai pengakhiran operasi dini PLTU,” ucap Pimpinan IESR itu. [amp]