(IslamToday ID) –Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan, mengecam keras dugaan pemerasan dan kesewenang-wenangan aparat kepolisian dalam ajang Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Berdasarkan laporan media, polisi di Polda Metro Jaya melakukan tes urin acak terhadap pengunjung tanpa bukti awal yang cukup.
Ia menjelaskan, tidak hanya melakukan tes urin acak terhadap pengunjung, pengunjung diduga juga diperas hingga mencapai nilai fantastis RM 9 juta atau sekitar Rp32 miliar agar dapat dilepaskan.
“Kejadian ini tidak bisa lagi dipandang sebagai ulah oknum semata, Ini adalah bukti dari permasalahan sistemik yang sudah berurat akar di tubuh Polri. Hal ini adalah buah paling matang dari ketiadaan niat politik (political will) pemangku kekuasaan, untuk mereformasi Polri secara total,” tutur Fadhil dalam keterangannya kepada IslamToday ID, Ahad (22/12/2024).
Direktur LBH itu menilai, tindakan aparat tersebut tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai Hak Asasi Manusia (HAM). Tes urin yang dilakukan tanpa bukti permulaan dan prosedur hukum dinilai sebagai pelanggaran terhadap hak atas privasi yang dijamin Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
“Ketentuan HAM internasional tersebut dengan terang menjamin, bahwa tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya tanpa alasan-alasan yang sah dan tanpa prosedur yang ditetapkan oleh hukum,” ujarnya.
LBH Jakarta juga mengkritik, narasi yang kerap digunakan pihak kepolisian untuk meredam kritik publik, yakni menyebut pelaku sebagai “oknum”. Fadhil menyebut, istilah tersebut tidak relevan dalam konteks kasus ini, mengingat berbagai ungkapan serupa di tubuh Polri, mulai dari tindak korupsi hingga penyalahgunaan wewenang.
“Oleh karenanya, penggunaan istilah “oknum” dalam kasus-kasus yang melibatkan polisi merupakan kesalahan fatal dan merupakan bentuk pelecehan terhadap nalar publik,” tambah Fadhil.
Dalam kasus ini, polisi menyatakan telah memeriksa 18 personil yang diduga terlibat. Namun, kata Fadhil, langkah tersebut belum cukup, tanpa adanya proses hukum pidana, sanksi etik saja tidak akan menyelesaikan masalah.
“Berdasarkan catatan pemantauan dan pendampingan LBH Jakarta, terdapat 58 kasus penyiksaan yang pelakunya tidak dihukum secara pidana dan etik sepanjang 2013-2022,” kata Direktur LBH Jakarta ini.
Fadhil pun mengkritik, kurangnya transparansi terkait identitas dan jabatan personel yang terlibat. Menurutnya, ini adalah bentuk standar ganda, mengingat dalam kasus narkotika lainnya polisi sering mempublikasikan identitas pelaku yang bukan dari kalangan aparat.
“Dengan kondisi yang demikian, menjadi wajar apabila publik mencurigai bahwa proses terhadap 18 personil ini, hanya berada pada level pelaku lapangan dan tidak menyentuh pelaku di level pengambil keputusan,” jelasnya.
LBH Jakarta mendesak Kapolri, untuk meminta maaf secara terbuka dan mengakui permasalahan ini sebagai masalah institusional, bukan ulah individu. Selain itu, mereka juga meminta agar Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kompolnas RI proaktif menyelidiki kasus ini.
“Kami juga meminta Presiden dan DPR segera menindaklanjuti persoalan-persoalan yang menyangkut Polri belakangan ini dengan agenda konkret reformasi kepolisian total yang berkelanjutan, secara struktural, instrumental, dan kultural, demi memastikan kerja-kerja profesional, transparan, dan akuntabel Polri,” tutup Fadhil.
Diketahui, kasus ini berawal dari laporan warga Malaysia yang menghadiri acara DWP di Jakarta pada 13–15 Desember 2024. Beberapa penonton melaporkan, bahwa mereka dihentikan secara tiba-tiba oleh oknum polisi untuk menjalani tes urine mendadak.
Meski sebagian besar hasil tes urine menunjukkan negatif narkoba, penonton tetap diminta menyerahkan uang dalam jumlah besar. Tekanan ini disebut sebagai bagian dari modus operandi yang dilakukan secara sistematis oleh kelompok tertentu.
Sementara itu, unggahan viral di media sosial memperjelas bahwa dugaan pemerasan ini tidak hanya melibatkan individu, melainkan melibatkan kelompok oknum dengan target lebih dari 400 orang penonton dari Malaysia.[nnh]