(IslamToday ID) – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti, menyampaikan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen, bukan merupakan kebijakan baru. Hal tersebut, sudah diatur sejak Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2009.
“Jadi, kenaikan PPN itu bukan 12%, tetapi 1% dari 11% menjadi 12%. Dan untuk transaksi digital ini juga bukan hal yang baru, karena itu sudah dikenakan berdasarkan PMK nomor 69 tahun 2009,” tutur Dwi Astuti usai kegiatan media briefing tentang PPN di Kantor DJP, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2024).
Ia menjelaskan, bahwa tarif PPN pada transaksi digital, seperti biaya jasa sebesar Rp1.500 yang dikenakan pada e-wallet atau e-money, sudah mencakup pajak tersebut.
“Ketika kita bayar biaya jasa transaksi Rp1.500, di dalamnya itu sudah ada PPN. Jadi tidak ada PPN tambahan lagi ketika uang dalam dompet digital digunakan,” jelasnya.
Dwi menyebut, kenaikan PPN 1 persen ini juga diperkirakan tidak berdampak besar terhadap inflasi. Menurut data yang telah dirilis DJP, dampaknya terhadap inflasi hanya sekitar 0,2 persen.
Menanggapi keresahan masyarakat, ia mengatakan, khususnya bagi generasi muda pengguna platform digital seperti Spotify dan Netflix, Dwi menegaskan, bahwa pajak pada jasa tersebut sudah lama berlaku.
“Spotify, Netflix itu termasuk jasa PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) yang saya katakan tadi, itu sudah dikenakan, bukan pajak baru. Selama ini yang dibayar masyarakat itu sudah ada pajaknya, bukan dikenakan (pajak) terus tiba-tiba (naik) 12%, bukan seperti itu, kenaikannya 1% dan itu sudah diatur juga sejak tahun 2022,” papar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP itu.
Lebih lanjut, Dwi menjelaskan bahwa PPN dikenakan pada konsumen akhir atas penyerahan barang atau jasa.
“Sekali lagi saya sampaikan, PPN itu dikenakan atas penyerahan barang dan jasa yang dikenakan pada konsumen terakhir. Jadi kalau sekarang nih, yang e-wallet ketika kita ngisi dompet digital kita, ada biayanya Rp 1.500, nah, biaya itulah sudah ada PPN-nya, ketika uang dalam dompet kita digunakan tidak dikenakan lagi,” tambahnya.
Namun, ia mengakui, bahwa DJP tidak memiliki kewenangan untuk menentukan tarif jasa yang ditetapkan oleh provider. “Kalau itu (tarif jasa) adalah biaya jasa, yang menentukan bukan DJP, tapi provider. Jadi saya tidak tahu, provider itu ya penyedia jasa, saya tidak bisa memberikan pengetahuan Ini,” ujar dia.
Dalam kesempatan tersebut, Dwi juga menuturkan, bahwa penerimaan pajak akan terus dioptimalkan untuk mendukung pembangunan nasional.
“Penerimaan pajak ini tentunya dipilihkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dikembalikan lagi melalui APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Manfaatnya dikembalikan lagi ke masyarakat, untuk (pembangunan) infrastruktur, untuk pendidikan, kesehatan, dan yang lainnya,” tutup Dwi.[nnh]