(IslamToday ID) – Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Irsyad Zamjani, menekankan, bahwa sekarang menjadi fokus bersama pentingnya untuk mengakhiri praktek-praktek kekerasan yang terjadi di Lembaga Pendidikan.
“Saya kira temen-temen semua yang pernah sekolah, pasti entah mengalami atau melihat praktek-praktek kekerasan di sekolah, yang seharusnya tidak ada di Lembaga Pendidikan. Jadi upaya-upaya, untuk terus menangani praktek kekerasan ini sangat penting, dan jadi fokus kita bersama,” tutur Irsyad dalam forum diskusi pendidikan di Cikini, Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Ia menyampaikan, dari Kemendikdasmen sudah merilis regulasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan, ada Petunjuk Teknis (Juknis) & konten-konten kampanye, untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, tentang hal-hal tersebut.
Irsyad menanggapi, paparan yang disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, terkait meningkatnya kekerasan yang terjadi di Lembaga Pendidikan.
“Tadi yang disampaikan oleh Mas Ubaid, angka (kekerasan)nya meningkat, itu bisa karena dua hal. Yang pertama kasusnya tambah banyak atau hal kedua, publik sekarang sudah lebih aware atau lebih sadar, tentang pentingnya untuk menyampaikan adanya kasus-kasus kekerasan (di Lembaga Pendidikan),” ungkapnya.
Ia menuturkan, kekerasan yang sudah dianalisis oleh pihaknya, setidaknya terbagi tiga hal yang pernah dialami oleh siswa, yakni perundungan, hukuman fisik, dan kekerasan seksual.
Hasil analisis kekerasan di Lembaga Pendidikan, kata Irsyad, hampir mirip dengan yang sudah dipaparkan oleh JPPI. Menurut pengakuan siswa, praktek kekerasan dialami oleh 10-15 persen siswa di sekolah, artinya secara umum, kondisi sekolah di Indonesia relatif aman.
“Tapi memang ada kasus-kasus yang perlu kita perhatikan, 10-15 persen bukan angka kecil sebenarnya, jika dikalikan sekolah kita yang (berjumlah) ratusan ribu, cukup besar juga. Walaupun tidak semua siswa yang mengalami, tapi ada kelompok-kelompok siswa yang mengalami di sekolah-sekolah tertentu, perundungan dan kekerasan seksual, saya kira yang paling mendominasi laporan kasus kekerasan (di Lembaga Pendidikan)” kata dia.
Ia melanjutkan, kecenderungan dari korban perundungan lebih didominasi oleh siswa laki-laki, begitu pun korban hukuman fisik, karena siswa laki-laki lebih banyak mendapatkan hukuman dari guru, karena kenakalan atau kesalahan yang dilakukan.
Irsyad juga mengungkapkan, anak-anak yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah, cenderung lebih rentan mendapatkan kekerasan, terutama di aspek perundungan dan hukuman fisik.
“Tapi kita beruntung, sekolah-sekolah kita ini sudah mulai aware atau sadar, untuk menangani kekerasan. Jadi program-program penanganan kekerasan di sekolah, itu juga sudah mulai banyak,” ucap Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan Kemendikdasmen itu.
Lebih lanjut, kata dia, program-program penanganan kekerasan di sekolah belum secara eksplisit atau terbuka dilakukan, karena data analisis yang disampaikan adalah asesmen nasional tahun 2022, jadi beberapa sekolah belum mengadopsi program-program yang disarankan pada Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023.
“Tetapi, sudah mulai ada program-program penanganan yang baik, terutama di kasus perundungan. Namun, (penanganan kasus) kekerasan seksual ini yang jadi PR, jadi belum banyak atau baru 8 persen sekolah yang punya program dan pencegahan kekerasan seksual yang sudah baik, jadi ini yang harus terus kita dorong, agar sekolah-sekolah kita dapat membuat program (penanganan & pencegahan kekerasan) yang baik,” tutupnya.[nnh]