(IslamToday ID) – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan, menyayangkan minimnya transparansi dalam proses sidang etik terhadap anggota Polri yang terlibat dalam kasus pemerasan di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.
Ia menegaskan, bahwa ketertutupan informasi ini semakin memperburuk citra institusi kepolisian yang sudah mengalami penurunan kepercayaan publik.
“Walaupun sudah ada informasi mengenai dimulainya sidang etik, namun publik belum bisa memastikan lebih lanjut dan hanya bisa mengira-ngira siapa saja pihak yang disidangkan,” ujar Fadhil dalam keterangan tertulis yang diterima ITD News, Selasa (2/1/2025).
Hingga saat ini, LBH Jakarta mencatat, hanya tiga perwira di Polda Metro Jaya yang diketahui menjalani sidang etik. Namun, kejelasan mengenai proses hukum pidana terhadap mereka masih menjadi tanda tanya besar. Hal ini semakin diperparah, dengan munculnya surat telegram Polda Metro Jaya bernomor ST/429/XII/KEP.2024 yang memutasi 34 anggota Polri ke Yanma Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan, tanpa rincian lebih lanjut mengenai status mereka.
Direktur LBH Jakarta pun mendesak, agar proses hukum terhadap pelaku pemerasan tidak berhenti pada sanksi etik saja, tapi berlanjut pada proses hukum pidana, terhadap anggota Polri yang terlibat dalam kasus pemerasan DWP 2024.
“Mengacu pada kondisi yang demikian, kami menyangsikan berbagai pernyataan pejabat Polri melalui Karopenmas (Kepala Biro Penerangan Masyarakat) dan Kadiv (Kepala Divisi) Propam (Profesi dan Pengamanan), yang pada pokoknya berkomitmen untuk serius dalam menyelesaikan kasus ini secara tegas. Pernyataan tersebut, hanya akan menjadi omong kosong semata, apabila tidak dibarengi dengan transparansi proses hukum baik etik maupun pidana,” tambah Direktur LBH Jakarta ini.
Ia menyebut, proses pemidanaan yang transparan dan akuntabel, merupakan upaya untuk menghilangkan impunitas atau kebal hukum, yang selama ini ada di tubuh Polri. Hal ini diharapkan, dapat memberikan efek jera dalam menyelesaikan permasalahan koruptif di tubuh polri.
Selain itu, Fadhil juga menyoroti, pentingnya penegakan tanggung jawab terhadap atasan pelaku, sesuai dengan Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022. Menurutnya, kelalaian atasan yang tidak mengawasi bawahannya dengan baik juga harus diseret dalam proses hukum yang ada.
“Pejabat Polri yang berkedudukan sebagai atasan memiliki kewajiban untuk segera menyelesaikan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh bawahan dan mengarahkan, mengawasi, dan mengendalikan pelaksanaan tugas, wewenang, & tanggung jawab yang dilaksanakan oleh bawahan. Dalam konteks ini, maka sudah jelas terdapat kelalaian dari Atasan pelaku, terhadap pelaksanakan tugas dan wewenang dari pelaku (kasus pemerasan DWP 2024),” ungkapnya.
Ia pun memandang, kasus ini sebagai peluang untuk mereformasi Polri secara menyeluruh. Lebih lanjut, LBH Jakarta mendesak Presiden RI dan DPR RI, untuk mengambil langkah konkret, untuk perbaikan institusi kepolisian Republik Indonesia.
“Kami (LBH Jakarta) mendesak Presiden Republik Indonesia (Prabowo Subianto) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk memastikan berjalannya pembahasan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia, yang mengakomodasi kebutuhan reformasi polisi dan menyerap partisipasi masyarakat secara bermakna,” tutup Fadhil.[nnh]