(IslamToday ID) – Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio (Hensa), mengapresiasi banyaknya layanan publik saat ini sudah mengandalkan teknologi berbasis online. Namun, ia pun mempertanyakan keamanan siber dari layanan tersebut.
Diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2023 mencapai lebih dari 221 juta orang.
Angka ini, mencerminkan potensi besar bagi pengembangan ekonomi digital, tetapi juga menjadi tantangan tersendiri dalam hal keamanan siber.
“Keren sih banyak online saat ini, tapi emangnya keamanan siber kita sudah lebih bagus juga?” ungkap Hensa dalam keterangan tertulis kepada ITD News, Senin (27/1/2025).
Hensa melihat, pemerintah Indonesia saat ini gencar mendorong digitalisasi di berbagai sektor, termasuk yang sedang ramai saat ini adalah sistem coretax Dirjen Pajak.
Namun, ia menyoroti kebijakan digitalisasi ini, tidak diiringi regulasi yang kuat di sektor keamanan siber.
“Kejadian peretasan ke Pusat Data Nasional di Surabaya, nampaknya jadi salah satu pelajaran berharga dan harus jadi momentum disahkan menjadi undang-undang, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2025,” kata dia.
Sebagai perbandingan, Hensa melihat negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat telah memiliki regulasi khusus yang melindungi infrastruktur digital mereka.
Singapura, misalnya, memiliki Cybersecurity Act 2018 yang memberikan kewenangan kepada Badan Keamanan Siber Singapura (CSA), untuk mengawasi infrastruktur kritis dan menangani insiden siber secara cepat.
Sementara itu, Malaysia juga memiliki Cyber Security Malaysia yang diatur melalui beberapa kebijakan, seperti National Cyber Security Policy, untuk memastikan kesiapsiagaan siber secara nasional.
Di Amerika Serikat, kata dia, pendekatan terhadap keamanan siber jauh lebih komprehensif melalui Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA).
Hensa menjelaskan, bahwa CISA bertugas melindungi aset-aset penting nasional, dengan strategi yang berfokus pada pencegahan dan mitigasi serangan siber sejak tahap awal.
Hal ini, menurutnya, berbeda dengan Indonesia, di mana desain keamanan siber sering kali baru dipikirkan setelah proyek atau aplikasi diluncurkan.
“Bila sistem buatan pemerintah tidak dirancang dengan standar keamanan sejak tahap awal, bisa saja akan menimbulkan masalah saat pertama kali digunakan, seperti misalnya sistem yang tujuannya baik, coretax Dirjen Pajak saat ini”, tambah pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI ini.
Ia berpendapat, UU KKS ini juga penting untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap digitalisasi. Sebab, masyarakat akan lebih percaya dengan layanan publik ketika sistem itu terlindungi secara baik.
“Peningkatan keamanan siber tidak hanya melindungi infrastruktur digital, tetapi juga akan mendorong investasi asing masuk. Kita belajar dari Estonia yang punya sistem keamanan siber sangat baik sehingga investor percaya saat berbisnis di negara tersebut,” tandasnya.[nnh]