(IslamToday ID) – Peneliti Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Gurnadi Ridwan mendesak pemerintah pusat agar mempercepat pengesahan UU Perampasa Aset dan mengevaluasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), usai pengungkapan kasus mega korupsi Pertamina.
“Belajar dari kasus korupsi ‘Bensin Oplosan’ yang terjadi, pentingnya segera mengesahkan Undang-undang Perampasan Aset,” kata Gurnadi kepada ITD News, Senin (3/3/2025).
Gurnadi meminta hal tersebut, agar menciptakan efek jera bagi para pelaku korupsi di Indonesia, sehingga dapat mempercepat pemulihan kerugian negara akibat perilaku korup para pelaku.
Ia juga mendesak pemerintah pusat agar segera mengevaluasi kinerja Kementerian BUMN dalam penyusunan regulasi dan pengawasan terhadap kinerja BUMN dan anak perusahaannya.
Selain itu, ia menyebut, Seknas FITRA juga mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) dan aparat penegak hukum (APH) agar segera mengembangkan penyidikan.
“Kejagung dan APH (agar segera) mengembangkan penyidikan aliran dana dana dugaan korupsi, sehingga ditemukan tersangka lain yang ikut terlibat dan menikmati uang hasil korupsi Bensin Oplosan,” ucapnya.
Kemudia, kata dia, Seknas FITRA juga mendesak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan penelusuran terhadap aliran dana hasil dugaan korupsi pertamina, serta menyampaikan informasi tersebut, kepada pubik secara transparan dan terbuka.
Diketahui, Kejagung RI telah mengungkap kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina yang melibatkan direksi anak usaha dan pihak swasta.
Awalnya, kerugian negara diperkirakan sebesar Rp 193,7 triliun, namun jika ditotal dari tahun 2018-2023 kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 968,5 triliun.
Kasus ini menuai perhatian publik karena dugaan terjadi pengoplosan pertalite menjadi pertamax. Modus tersebut menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 92 atau Pertamax milik SPBU Pertamina.
Menanggapi hal tersebut, Pertamina mengatakan bahwa BBM yang beredar sudah sesuai standar. Pertamina menggunakan istilah blending yang merupakan hal lumrah dalam proses pengelolaan bahan bakar minyak.
Berdasarkan temuan penyidik kejaksaan, proses blending itu dilakukan oleh PT Orbit Terminal Merak (OTM) di Cilegon, Banten. PT OTM kemudian tidak hanya berperan menampung, tetapi juga memcampur atau blending BBM yang diimpor PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN).
Padahal proses blending harusnya dilakukan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI). Selain itu, dalam proses impor minyak oleh PT PPN, Kejagung menemukan pembayaran Ron 92, namun yang datang justru ron yang lebih rendah yaitu RON 88 atau Ron 90. [amp]