(IslamToday ID) – Peneliti Imparsial Al Araf menilai saat ini yang dibutuhkan adalah penguatan pengawasan publik dalam Revisi Undang-Undang (RUU) TNI, Polri, hingga Kejaksaan yang bergulir di DPR.
“Penguatan pengawasan publik lebih penting ketimbang perluasan kewenangan dalam RUU Polri dan Kejaksaan,” kata Araf dalam diskusi yang bertajuk ‘Memperluas Kewenangan Vs Memperkuat Pengawasan: Kritik RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan’, dikutip dari YouTube FHUB Official, Ahad (16/3/2025).
Menurutnya, tiga RUU tersebut harus dievaluasi dan bahkan tidak urgent dan tidak perlu dibahas di DPR saat ini.
Araf lalu menyampaikan sejumlah catatan kritis dalam tiga RUU itu. Pertama, RUU TNI. Araf melihat RUU TNI ini akan membuka potensi dwifungsi ABRI karena militer boleh mengisi jabatan sipil.
“Di dalam Pasal 47 UU TNI kemudian direvisi di draf UU TNI, militer bisa menduduki di jabatan-jabatan sipil, ini menurut saya keliru, ini di masa Orde Baru disebut dwifungsi ABRI. Bahwa militer tidak hanya terlibat dalam pertahanan tapi juga non-pertahanan,” ujar Araf.
Ia menerangkan sejatinya secara teoritis, TNI bertugas untuk dilatih dan dididik dalam persiapan perang. Jika TNI ditarik di non-pertahanan, katanya, akan membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI seperti zaman Orde Baru.
“Secara teoritis, secara konsepsi, tugas militer adalah dilatih dan dididik untuk persiapan perang, ketika ditarik ke non-pertahanan, mereka didudukkan di jabatan sipil terjadinya dwifungsi ABRI. RUU TNI membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI,” ungkapnya.
Kedua, di RUU Polri. Araf menyinggung soal adanya tugas keamanan nasional di RUU Polri Pasal 14 ayat 1.
“RUU Polri di Pasal 14 ayat 1 disebutkan Polri menyebutkan tugas untuk kepentingan keamanan nasional. Baru kali ini saya membaca diksi tentang keamanan nasional di dalam RUU Polri, di dalam UU No 22 nggak ada keamanan nasional,” jelas Araf.
Selanjutnya, ia juga memberi catatan kritis ke RUU Kejaksaan. Araf melihat di RUU Kejaksaan tertuang adanya fungsi intelijen penyelidikan yang bisa memanggil seseorang tanpa harus adanya alat bukti.
“Di dalam UU Kejaksaan memiliki fungsi inteligensi penyelidikan itu sudah eksis, lalu kemudian jaksa bisa memanggil mereka-mereka tanpa alat bukti karena otoritas kewenangan penyelidikan di RUU Kejaksaan mungkin diperkuat,” ungkap Araf.
Ia mengatakan hal itu tidak bisa dilakukan Kejaksaan. Ia menyebutkan warga negara mempunyai hak untuk menolak dipanggil jika tidak ada alasan hal apa yang didasari dalam pemanggilan tersebut.
“Dalam konteks penegakan hukum, memanggil warga negara itu harus ada alat bukti. Dua alat bukti, warga negara punya hak dipanggil atas hal apa atas dasar apa untuk kepentingan apa, dengan fungsi intelijen punya potensi menjadi tinggi,” pungkas Araf. [wip]