(IslamToday ID) – Pendakwah karismatik Ustadz Adi Hidayat atau UAH menjelaskan sikap umat muslim ketika ada undangan halal bihalal di bulan Syawal yang mana ada juga anjuran Puasa Syawal.
Ustadz Adi Hidayat mengatakan, Cara Puasa Syawal sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW, pelaksanaannya bisa disesuaikan dengan kondisi umat muslim sehingga tidak harus di awal dan berurutan hingga enam hari.
Ustadz Adi Hidayat menyampaikan, jika ada undangan halal bihalal dan makan bersama usai Hari Raya Idul Fitri, maka Puasa Syawal boleh dijeda atau digeser di hari selanjutnya.
Di bulan Syawal, kata UAH, terdapat amalan-amalan sunnah, termasuk yang sangat dianjurkan adalah Puasa Syawal. Puasa Syawal merupakan puasa sunnah yang dapat dilaksanakan selama enam hari di bulan Syawal setelah Hari Raya Idul Fitri.
Ustadz Adi Hidayat menjelaskan, bulan Syawal adalah bulan spesial selain adanya Hari Raya Idul Fitri juga adanya amalan sunnah yang hanya ada di bulan Syawal.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits Abu Ayyub Al-Anshari RA:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim, no. 1164).
“Puasa Syawal enam hari ini bisa dilakukan berturut-turut, misalkan Anda mulai di hari Senin maka diselesaikan hingga Sabtu, jika memulai pada Selasa diselesaikan pada Ahad,” terang Ustadz Adi Hidayat dikutip dari kanal YouTube Adi Hidayat Official.
Namun, lanjut UAH, jika menginginkan waktu pelaksanaan Puasa Syawal terpisah karena ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan, misalnya acara silaturahim atau halal bihalal yang mempertemukan banyak kalangan untuk mempererat silaturahmi, maka boleh dijeda atau tunda.
Ini sebab pengerjaan Puasa Syawal terbentang hingga akhir bulan Syawal. Misal, Anda memulai Puasa Syawal pada tanggal 3 Syawal, kemudian tanggal 5 ada undangan halal bihalal yang tidak bisa dihindari dan ingin menghormati di pemberi undangan, serta ada hidangan yang dapat dinikmati bersama, maka bisa dijeda dulu dan dilanjutkan di hari berikutnya.
“Jadi tidak mesti berurutan, dikerjakan berurutan baik, secara terpisah pun tidak masalah asal dikerjakan enam hari, keutamaan menyempurnakan Puasa Ramadhan ditambah Puasa Syawal pahalanya seperti berpuasa sepanjang tahun,” jelas Ustadz Adi Hidayat.
Kader Muhammadiyah itu memaparkan, ada ulama yang melogikakan pendekatan bagi umat Islam yang menunaikan puasa di bulan Ramadhan baik selama 29 atau 30 hari, dikalikan setiap harinya 10 kebaikan.
Hal ini, kata UAH sebagaimana termaktub dalam Surat Al-An’am Ayat 160
مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰٓ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Man jā`a bil-ḥasanati fa lahụ ‘asyru amṡālihā, wa man jā`a bis-sayyi`ati fa lā yujzā illā miṡlahā wa hum lā yuẓlamụn
Artinya: Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
“Sehingga 29 atau 30 hari dikalikan 10 didapatkan hasil 290 atau 300, ditambah puasa enam hari Syawal, 6×10 hasilnya 60 jika dijumlahkan 350 atau 360 maka hampir mendekati setahun penuh, hal ini yang dimaksudkan makna hadits tersebut,” terang Ustadz Adi Hidayat. [nfl]