(IslamToday ID) – Pengamat militer Al Araf menilai pernyataan Danjen Kopassus Mayjen TNI Djon Afriandi terkait penindakan terhadap premanisme kurang tepat. Menurutnya, Kopassus mestinya fokus menjaga kedaulatan negara dari konflik geopolitik sehingga tidak ikut mengurus premanisme.
“Pernyataan Danjen Kopassus kurang tepat. Itu yang pertama. Yang kedua, militer dan Kopassus fokus dalam menjaga kedaulatan negara, memperhatikan geopolitik tentang kemungkinan konflik di Laut China Selatan, sehingga semua kemampuan TNI harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, termasuk perang, bukan dengan mengurus persoalan premanisme,” kata Araf, Senin (28/4/2025).
Ketua Badan Pekerja Centra Initiative ini menjelaskan, aksi premanisme yang terjadi belakangan bersifat individual crime responsibility atau tanggung jawab kejahatan individu. Menurutnya, mereka yang terlibat harus diproses sesuai mekanisme hukum untuk membuktikan apakah benar terlibat dalam aksi premanisme atau tidak.
“Sehingga mereka bisa diproses hukum oleh polisi, jaksa, dan oleh pengadilan. Militer dan Kopassus bukan bagian dari penegak hukum, sehingga salah dan keliru jika mereka terlibat dalam proses itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Araf mengatakan, penanganan premanisme dengan cara hukum pernah terjadi di era Orde Baru dengan mekanisme extrajudicial killing atau kasus penembakan misterius (Petrus). Namun, katanya, hal tersebut mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
“Ada yang bukan preman, dianggap preman, mati. Ada yang preman juga mungkin ditembak mati. Itu enggak boleh terjadi. Mereka warga negara Indonesia yang kalau mereka melakukan kejahatan harus diproses hukum. Dibuktikan di dalam proses hukum. Bukan ditembak,” pungkasnya.
Sebelumnya, Danjen Kopassus Mayjen TNI Djon Afriandi menegaskan bahwa segala bentuk aksi premanisme harus ditindak tegas, termasuk bila dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan ormas.
Meski demikian, Djon mengatakan, masyarakat juga harus membedakan antara ormas dan premanisme agar tidak terjadi generalisasi negatif terhadap semua ormas di Indonesia.
“Kita harus pisahkan. Ormas itu tidak semuanya preman, dan premanisme juga tidak semuanya tergabung di ormas,” kata Djon, Sabtu (26/4/2025).
Ia menambahkan, selama ormas bersifat positif dan mendukung kebijakan pemerintah serta menjaga ketertiban, maka keberadaannya tentu bermanfaat. Namun, jika ormas justru mengganggu stabilitas dan ketertiban masyarakat, perlu dilakukan tindakan hukum yang tegas.
“Kalau sudah menghambat, mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat, berarti harus ditindak,” ujarnya.
Djon menekankan premanisme pada dasarnya merupakan tindakan yang merugikan masyarakat karena cenderung memaksakan kehendak dan mengambil hak orang lain secara paksa.
“Premanisme itu sudah pasti negatif. Mereka ingin penghasilan besar tanpa mau bekerja keras, dan biasanya memaksakan kepentingan pribadi atau kelompok dengan cara yang salah. Itu jelas salah,” ucapnya.
Djon mengatakan pentingnya peran aparat kepolisian dalam memberantas praktik premanisme. Selain itu, masyarakat juga diajak untuk turut berpartisipasi melawan tindakan-tindakan yang merusak kehidupan sosial.
“Tugas menindak itu tentu ada pada kepolisian. Tapi, masyarakat juga harus berani melawan karena premanisme itu tidak baik dan tidak boleh dibiarkan,” imbuhnya. [wip]