(IslamToday ID) – Berjalan hampir 4 bulan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, menuai banyak kritik dari berbagai organisasi dan masyarakat.
Selain problem pada kinerja operasional yang kurang trasnparan, kerap ditemukan juga masalah pada tatanan teknis MBG di lapangan.
Salah satunya, temuan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang beberapa waktu lalu sempat mengklaim, terdapat dugaan penyelewengan dana pada program MBG.
Kini, ICW kembali merilis temuan pada tataran teknis yang berdampak langsung pada penerima manfaat MBG.
“Penelusuran ini menggunakan 2 pendekatan, yakni memantau langsung dan proses wawancara, yang sementara dilakukan di Jakarta,” kata Peneliti ICW Eva Nurcahyani dalam acara diskusi publik di Tebet, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Dalam pemaparannya, Eva mengaku, penelusuran program MBG tersebut, penuh dinamika. Salah satunya data sekolah yang sulit diakses, untuk mendapatkan nama-nama sekolah yang sudah menjalankannya. Akhirnya ICW melakukan penelusuran secara acak.
Terdapat 36 lokasi yang dipantau ICW, mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMA sederajat, sampai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Temuan ICW Soal Masalah MBG
Eva Nurcahyani mengatakan, temuan ICW pada program MBG pada wilayah operasional sekolah, dibagi dalam 4 aspek, antara lain:
1. Aksesibilitas MBG yang Tidak Transparan.
ICW menemukan pada aspek ini, masih banyak sekolah di Jakarta yang belum menjalankan MBG. Hingga saat ini ICW belum mengetahui apa alasan pemerintah.
Bahkan, dalam penentuan sekolah yang dipilih untuk menjalankan MBG pun, pemerintah hingga kini tidak memiliki acuan jelas.
“Bahkan SPPG pun tidak mengerti mengapa Badan Gizi Nasional (BGN) memilih sebuah sekolah untuk menjalankan MBG, tapi yang lain tidak,” ucap Eva.
Selain itu, dalam seleksi penentuan mitra SPPG juga kurang transparans. Ditambah, terdapat perbedaan dalam distribusi pembayaran di masing-masing SPPG yang belum diketahui penyebabnya.
“Sebagai contoh SPPG kalibata. Dia tidak dibayarkan, karena SPPG kalibata merupakan pihak ketiga. BGN melakukan kontrak dengan yayasan, yang kemudian dikontrakkan kembali ke SPPG kalibata,” ungkapnya.
2. Kekacauan Operasional Distribusi.
ICW menemukan, acap kali pendistribusian makanan ke sokolah-sekolah mengalami keterlambatan yang dapat mengganggu aktivitas sekolah.
“Keterlambatan pengiriman makanan, menandakan tata kelolanya tidak bagus,” ucapnya.
Hal tersebut, dapat berpengaruh terhadap efektifitas waktu belajar siswa, bahkan berakibat pada bertambahnya beban guru.
“Karena telat, yang seharusnya sudah makan dan pulang, jadi mereka (para siswa) menunggu MBG terlebih dahulu, sehingga guru harus memutar otak untuk menahan siswa dan mengisi dengan kegiatan lain,” jelasnya.
Selain beban tambahan guru, hal itu juga, akan mengganggu konsentrasi dan fokus kegiatan para guru di sekolah.
3. Kualitas dan Standarisasi Layanan.
Kita menemukan kualitas dari menu MBG tidak memenuhi standar gizi, padahal niat awalnya untuk memenuhi gizi anak, agar menekan angka stunting.
Tapi akibat komposisi yang tidak sesuai standar, akhirnya banyak juga siswa yang tidak ingin memakan MBG, akhirnya makaman jadi mubadzir.
Bahkan, beberapa di daerah pinggiran, ditemukan tempat makanan terbuat dari bahan plastik, sehingga, menimbulkan persepsi adanya kesenjangan, antar sekolah, terutama yang dekat dengan pusat pemerintahan.
4. Dampak Ekosistem Sekolah.
Penerapan MBG juga berdampak pada ekosistem sekolaj, terutama kantin-kantin dan para pedagang di Sekolah.
Padahal para pelaku usaha di sekolah, sudah ada sejak dahulu dan mereka menggantungkan pendapatannya kepada para siswa.
Dengan adanya MBG, otomatis para siswa juga akan mengurangi intensitas jajan merek. Sehingga para pelaku usaha ini pun, butuh perhatian juga dari pemerintah.
“Pemerintah tidak melihat ekosistem yang sejak dulu sudah ada di area sekolah,” imbuh Eva dalam pemaparan hasil pemantauan program MBG. [amp]