(IslamToday ID) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasikan Pemerintahan Prabowo-Gibran, dinilai sudah tidak sesuai niat awal pengguliran program tersebut.
Salah satunya, MBG yang diharapkan bisa menekan permasalahan stunting yang dialami Indonesia, justru sekarang menuai berbagai kontroversi dalam penerapannya.
“Bahwa yang kami baca, tujuan pokoknya (MBG) adalah mengatasi stunting. Tapi kenyataannya tidak sesuai,” ucap perwakilan Koalisi Kawal Pendidikan Jakarta (KOPAJA) Irwan Aldrin, saat memaparkan pandangannya perihal MBG di salah satu kafe di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2025).
Dia menilai, dari hasil pengamatan sekolah-sekolah di Jakarta, pemenuhan standar gizi pada program MBG tidak berjalan sebagai mana mestinya.
Ia mencontoh, kejadian salah satu anak yang keracunan saat pertama kali mencoba menu MBG, di salah satu sekolah di Jakarta Selatan.
Sehingga, kata dia, sampai saat ini, si anak trauma dengan menu-menu lainnya, yang mengakibatkan si anak tidak pernah lagi mau mengambil jatah menunya.
Dan masih ada beberapa contoh lainnya, “jadi ini masih bisa disebut Makan Bergizi Gratis atau Makan Bergizi Tragis!?” ungkapnya.
Ditambah, imbuhnya, beberapa sekolah juga memerintahkan para siswanya membawa wadah makanan, yang peruntukannya adalah membawa makanan yang tidak dimakan di sekolah.
Hal tersebut, menurutnya, supaya pemerintah dapat menutupi fakta, bahwa makanan MBG tidak habis dan supaya makanan tersebut, bisa dibawa pulang.
“Masih bagus kalau dikasih ke kucing. Kalau hanya menjadi pupuk kompos, bagaimana!” tegasnya.
Ia menyatakan, padahal awalnya program ini, manjadi mimpi kami sebagai orang tua, tetapi melihat pelaksanaannya begini, justru ia menginginkan agar MBG dihentikan.
“Makan di meja belajar adalah cita-ciya kami sejak lama dan mimpi kami sebagai orang tua, makanya kami bahagia ketia ini bisa terlaksana, tapi kok malah jadi tragis,” pungkasnya.
Selain Irwan, Anggota FIAN Indonesia, Marthin Hadiwinata mengatakan, hak atas pangan dan gizi, tidak hanya sekedar menyediakan pangan saja, tapi juga memperhatikan pemenuhan standar hak asasi manusia (HAM).
Marthin menilai, program MBG seharusnya bisa seperti itu, tapi sayangnya dalam penerapannya MBG tidak melibatkan masyarakat sipil, tidak transparan, dan pendistribusiannya justru tidak tepat sasaran.
Ia memaparkan, salah satu peta Badan Pangan Nasional (Bapanas), yang menunjukkan kebutuhan gizi nasional, mayoritas di wilayah timur, seperti Papua, yang saat ini justru terlihat membutuhkan kecukupan gizi.
Seharusnya MBG, ucapnya, memprioritaskan distribusinya ke daerah yang membutuhkan dan dilakukan dengan skema yang komprehensif, sehingga tepat sasaran. [amp]