(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa Indonesia turut mengalami lima tren global meningkatnya otoritarianisme yang tercatat dalam Laporan Tahunan Amnesty International.
Usman memaparkan, bahwa laporan tersebut mencakup perkembangan hak asasi manusia secara global sepanjang 2024.
Yakni, menyajikan potret suram kondisi demokrasi dunia, termasuk di Indonesia.
Lima Tren Otoritarianisme Menyeret Indonesia
“Laporan ini menunjukkan lima fenomena utama yang menjadi indikator menguatnya otoritarianisme: serangan terhadap supremasi hukum, serangan terhadap kebebasan berekspresi, penyalahgunaan teknologi, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan pengingkaran komitmen perubahan iklim,” jelas Usman dalam penyampaian ringkasan laporan Amnesty, di Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Usman menekankan, bahwa fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia.
Misalnya, dalam konteks supremasi hukum, ia menyoroti pelanggaran norma hukum humaniter di Papua.
Kemudian, aparat kerap mengabaikan pelanggaran tersebut dan melakukan kekerasan terhadap demonstrasi damai.
“Serangan berulang ini lama-lama menjadi norma baru, di mana penyiksaan terhadap demonstran atau jurnalis dianggap hal biasa, bahkan tanpa ada penghukuman,” terangnya.
Keputusan MK Bentuk Manipulasi Hukum Demi Loloskan Gibran
Ia juga menyinggung keputusan Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2023, yang dinilai sebagai bentuk manipulasi hukum demi meloloskan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden.
Bahkan, Komite HAM PBB pun mengkritik penyelenggaraan Pemilu Indonesia untuk pertama kalinya.
Teknologi Disalahgunakan untuk Intimidasi Aktivis
Lebih lanjut, Amnesty mencatat sedikitnya 123 kasus serangan terhadap pembela hak asasi manusia selama tahun lalu.
Usman menerangkan, bentuk serangan bervariasi, mulai dari doxing, penyadapan, kriminalisasi, hingga serangan fisik.
Terlebih, ia menyebut adanya indikasi pembelian perangkat sadap oleh aparat Indonesia dari negara-negara seperti Israel, Yunani, Singapura, dan Malaysia.
“Ini semua mengindikasikan bahwa Indonesia bukan pengecualian dari tren global otoritarianisme. Padahal kita punya potensi besar untuk menjadi panutan dalam demokrasi dan hak asasi manusia,” kata dia.
Usman juga menyesalkan hilangnya agenda ratifikasi Statuta Roma dalam Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) periode kelima di era Presiden Jokowi.
Padahal, menurutnya, ratifikasi Statuta Roma adalah langkah penting untuk menguatkan komitmen Indonesia terhadap hukum internasional.
“Kalau kita mau menunjukkan keberpihakan pada Gaza, pada Ukraina, pada korban pelanggaran HAM di mana pun, kita harus mulai dengan memperkuat komitmen terhadap hukum internasional, termasuk dengan meratifikasi Statuta Roma,” pungkas Usman.[nnh]