(IslamToday ID) – Ratusan warga dari berbagai desa di Sulawesi Barat, turun ke jalan menolak ekspansi tambang pasir yang dituding mengancam ruang hidup mereka, demi ambisi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan ekspor.
“Tambang-tambang tersebut disebut akan mendukung kebutuhan material pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan ekspor pasir. Aktivitas penambangan ini tersebar di sejumlah kabupaten seperti Pasangkayu, Mamuju, Mamuju Tengah, dan Majene,” tutur Kuasa Hukum Warga Edy Maulana Naro dalam keterangannya, Senin (5/5/2025).
Warga Khawatir Sumber Penghidupan Mereka Rusak
Ia mengungkapkan, di Desa Karossa, Sarasa, Silaja, dan Dapurang, warga telah melakukan penolakan terhadap PT ASR sejak akhir November 2024.
Edy menyebut, warga khawatir tambang akan merusak wilayah tangkap nelayan, tambak, dan hutan bakau yang menjadi sumber penghidupan utama.
Berdasarkan data Minerba One Map Indonesia (MoMI), PT ASR memiliki konsesi seluas 69,85 hektar. Dalam wilayah tersebut terdapat tambak dan tanah milik warga yang telah bersertifikat, serta kawasan bakau yang ditanami sejak 2006–2019.
Kemudian, dalam dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan), produksi tambang dibatasi untuk wilayah lokal.
“Namun, dalam Studi Kelayakan PT ASR, ditemukan bahwa pasir akan dikirim ke Penajam Paser Utara, lokasi IKN,” ujarnya.
Selain itu, konflik pun terjadi saat PT ASR melakukan uji coba alat empat kali di Muara Sungai Karossa. Warga mengaku mengalami gangguan kesehatan karena stres dan cemas kehilangan rumah serta kebun mereka.
PT ASR sebelumnya, juga terlibat konflik serupa di Salipolo, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, terkait tambang ilegal di Sungai Saddang.
Tambang Lain & Ekspansi Industri Ekstraktif
Selain PT ASR, terdapat PT Yakusa Tolelo Nusantara di Budong-Budong, Mamuju Tengah, yang juga ditolak warga karena ancaman abrasi.
Sementara itu, PT Jaya Pasir Andalan dan PT Jaya Batu Andalan beroperasi di muara Sungai Kalukku, Mamuju.
Yaitu, kata dia, dengan indikasi kuat bahwa sebagian pasir akan diekspor.
Edy mengatakan, di Desa Lebani dan Labuan Rano, dua perusahaan lain yakni PT Aneka Bara Lestari (383 Ha).
Selanjutnya, PT Tambang Batuan Andesit (45,83 Ha), juga ditolak warga meskipun perusahaan menjanjikan uang tunai dan umroh.
“PT ABL bahkan melakukan reklamasi terminal khusus tanpa izin,” tambah Kuasa Hukum Warga itu.
Utak-atik Regulasi, Perluasan KEK & Izin Tambang
Lebih lanjut, warga dan aktivis menuding pemerintah memanipulasi regulasi untuk memuluskan masuknya tambang.
Menurutnya, Perda Provinsi Sulbar No. 3 Tahun 2021 dan Pergub No. 9 Tahun 2022 dinilai menjadi landasan untuk memperluas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Belang-Belang, Kecamatan Kalukku.
KEK ini, lanjut Edy, akan mencaplok lebih dari 1.314 hektar lahan di kawasan pesisir dan didesain untuk menopang industri ekstraktif, termasuk pelabuhan, pergudangan, dan pembangkit listrik.
Diketahui, Perubahan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) pun, sedang digodok di DPRD Sulbar.
Yakni,dengan dorongan dari 10 perusahaan tambang yang meminta akomodasi pembangunan terminal khusus di wilayah pesisir.
“Warga menyerukan moratorium penerbitan izin tambang, penghentian seluruh aktivitas ekstraktif, serta pencabutan izin usaha yang merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal,” pungkasnya.[nnh]