(IslamToday ID) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan kekecewaan mendalam atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Yaitu, dalam perkara gugatan lingkungan hidup terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ihwal masuknya PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan WALHI tidak memiliki kepentingan hukum, karena proyek PLTU tersebut belum dibangun dan masih dalam tahap pembahasan revisi RUPTL. Oleh karena itu, hakim menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Pembangunan PLTU Dinilai Tidak Relevan
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwang, menyebut putusan itu sebagai bukti bahwa lembaga peradilan belum serius merespons krisis iklim yang nyata di depan mata.
“Terlihat bahwa pemerintah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, belum serius menanggapi krisis iklim. Penggunaan batu bara justru terus didorong lewat proyek seperti PLTU Tanjung Jati A, padahal sudah jelas berdampak besar terhadap keselamatan manusia dan lingkungan,” ujar Wahyudin di Kantor Walhi, Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Ia menambahkan, pembangunan PLTU di Jawa Barat tidak relevan dengan kebutuhan energi, karena saat ini PLN justru mengalami surplus energi.
“Jawa Barat punya kelebihan daya 6 GW sampai 2030, jadi kalau tetap dipaksakan, artinya ini tidak berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat,” kata dia.
Selain itu, ia menyoroti inkonsistensi kebijakan energi pemerintah yang di satu sisi menyuarakan transisi energi bersih, tetapi di sisi lain masih mempertahankan ketergantungan terhadap energi fosil.
“Kalau Jawa Barat saja, yang sudah punya target pensiun dini dua PLTU masih disusupi proyek kotor, ini jadi bukti bahwa pemerintah tidak serius menanggapi perubahan iklim,” jelasnya.
Tim Advokasi Kritik Pendekatan Hukum Sempit
Sementara itu, Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim, menyatakan, putusan PTUN Jakarta keliru.
Karena, mencerminkan pendekatan hukum yang sempit dan mengabaikan substansi keadilan lingkungan.
“Mereka sama sekali tidak menggunakan pendekatan hukum lingkungan yang progresif, bahkan tidak mempertimbangkan Pedoman PERMA 1/2023 tentang perkara lingkungan hidup,” ujar M Rafi Saiful Islam dari Tim Advokasi.
Menurut Rafi, alasan hakim bahwa WALHI tidak punya kepentingan hukum, adalah salah.
Hal itu, merupakan bentuk penyempitan terhadap makna keadilan lingkungan serta pengingkaran terhadap peran organisasi masyarakat sipil.
“Kalau WALHI yang punya kapasitas dan rekam jejak saja dianggap tidak punya hak gugat, bagaimana nasib masyarakat biasa yang rentan terdampak proyek seperti PLTU ini?” ucapnya.
Ia mengungkapkan, bahwa pihaknya akan mengajukan banding atas putusan tersebut, karena terdapat kekeliruan fundamental dalam pertimbangan hukum pengadilan tingkat pertama.
“Kami ingin menegaskan bahwa organisasi lingkungan hidup memiliki legal standing, untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin UUD 1945,” imbuh Rafi.
Bukti Ilmiah Dampak PLTU Harus Jadi Pertimbangan Pengadilan
Selain aspek hukum, WALHI juga menekankan, bahwa bukti ilmiah soal dampak PLTU Tanjung Jati A seharusnya jadi bahan pertimbangan utama.
“PLTU ini akan menyumbang 7,35 juta ton CO2 per tahun. Ini bukan hanya perkara legalitas, tapi soal masa depan generasi mendatang,” pungkas Wahyudin.
WALHI dan Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim pun mengajak masyarakat sipil, media, akademisi, dan aktivis.
Yakni, untuk mengawal proses banding demi memastikan pengadilan bertindak adil dan mempertimbangkan aspek lingkungan secara komprehensif.[nnh]