(IslamToday ID) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan apresiasi atas disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
KPK memandang, bahwa upaya pemerintah memperkuat peran BUMN dalam mengelola sektor-sektor strategis merupakan langkah positif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Upaya memperkuat peran BUMN tentu butuh dukungan semua pihak, termasuk KPK dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya memberantas korupsi,” tutur Ketua KPK, Setyo Budiyanto dilansir dari laman resmi KPK, Jumat (9/5/2025).
Namun demikian, KPK mencermati adanya sejumlah ketentuan dalam UU tersebut yang dapat menimbulkan tafsir.
Yaitu, seolah-olah membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi (TPK) di BUMN.
Menanggapi hal ini, KPK menekankan beberapa poin penting:
Status Penyelenggara Negara pada BUMN
Menanggapi Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 yang menyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris.
Kemudian, Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara, KPK menyatakan:
Ketentuan yang ada bertentangan dengan ruang lingkup penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1.
Selanjutnya, pada Pasal 2 angka 7 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
UU ini, kata dia, merupakan hukum administrasi khusus yang menjadi rujukan KPK dalam penegakan hukum korupsi.
Bahkan, penjelasan Pasal 9G UU No.1 Tahun 2025 menegaskan bahwa status sebagai penyelenggara negara tidak hilang meski menjadi pengurus BUMN.
Oleh karena itu, KPK menegaskan bahwa Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara dan wajib menyampaikan LHKPN serta melaporkan gratifikasi.
Kerugian BUMN sebagai Kerugian Negara
Ihwal Pasal 4B UU Nomor 1 Tahun 2025 mengenai kerugian BUMN, yang disebut bukan merupakan kerugian keuangan negara.
Kemudian, Pasal 4 ayat (5) menyatakan modal negara yang disetor pada BUMN merupakan kekayaan BUMN, KPK memberikan penegasan sebagai berikut:
KPK merujuk pada Putusan MK No. 48/PUU-XI/2013, No. 62/PUU-XI/2013, No. 59/PUU-XVI/2018, dan No. 26/PUU-XIX/2021.
Yakni, yang menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk pada BUMN, tetap bagian dari keuangan negara.
Dengan demikian, lanjut Setyo, kerugian di BUMN tetap dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara.
KPK menyimpulkan bahwa Direksi, Komisaris, dan Pengawas BUMN dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila kerugian tersebut timbul akibat perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya, penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan prinsip Business Judgment Rule (BJR), seperti fraud, suap, konflik kepentingan, atau kelalaian.
Berdasarkan seluruh uraian tersebut, Setyo menegaskan, bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan.
Kemudian, penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direksi, Komisaris, dan Pengawas di BUMN.
Ia menjelaskan, karena secara hukum pidana, status mereka tetap sebagai penyelenggara negara, dan kerugian yang terjadi tetap dikategorikan sebagai kerugian negara, selama terdapat perbuatan melawan hukum atau penyimpangan prinsip BJR.
“Hal ini juga sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, serta Putusan MK Nomor 62/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa frasa ‘dan/atau’ dalam pasal tersebut dapat ditafsirkan secara kumulatif maupun alternatif.
Artinya, KPK tetap dapat menangani kasus korupsi di BUMN jika terdapat penyelenggara negara, kerugian negara, atau keduanya,” ujar Ketua KPK.
Lebih lanjut, KPK memandang bahwa penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN, merupakan bagian dari upaya mendorong penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
“Dengan tata kelola yang baik, BUMN sebagai perpanjangan tangan negara dapat dikelola secara akuntabel dan berintegritas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” pungkas Setyo.[nnh]