(IslamToday ID) – Sidang gugatan terhadap izin reklamasi PT Manado Utara Perkasa (PT MUP) kembali digelar di PTUN Jakarta, (6/5/2025).
Gugatan atas Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) ini, didaftarkan oleh KIARA dan WALHI.
Yaitu, sebagai bagian dari Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK), dengan nomor perkara 444/G/LH/2024/PTUN.JKT.
Kuasa hukum penggugat, Judianto Simanjuntak, menghadirkan dua saksi warga pesisir Manado Utara, untuk memberikan kesaksian langsung atas dampak reklamasi.
“Pola komunikasi antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan masyarakat terdampak, tergolong dalam kategori “non partisipasi” karena hanya bersifat manipulatif dan tidak informatif,” ungkap Judianto dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/5/2025).
Ia menyebut, bahwa kehadiran saksi-saksi ini bertujuan untuk memberikan keterangan langsung kepada Majelis Hakim.
Yakni, tentang dampak reklamasi terhadap nelayan dan masyarakat pesisir.
Judianto menekankan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari partisipasi bermakna masyarakat, sesuai dengan Pasal 4 huruf h dan d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kesaksian Warga Pesisir Manado Utara
Saksi pertama adalah nelayan kecil/tradisional dari Kelurahan Bitung-Karangria, Kecamatan Tumumpa.
Dalam kesaksiannya, ia mengungkapkan, bahwa area yang akan direklamasi adalah ruang tangkap utama nelayan kecil.
“Kami menangkap ikan marlin, kerapu, nike, hingga tuna gigi anjing di area itu. Reklamasi membuat ikan menjauh dan merugikan kami,” ujarnya.
Ia juga menuturkan, nelayan memantau pergerakan ikan dari rumah. Pemasangan pagar di pesisir membuat mereka kehilangan kemampuan untuk membaca tanda-tanda laut, seperti keberadaan burung camar.
“Kalau pantai dipagari, tradisi dan cara kami mencari ikan hilang,” tambahnya.
Saksi kedua, seorang perempuan nelayan sekaligus pegiat pariwisata, menyebutkan bahwa reklamasi mengganggu kegiatan belajar anak-anak di pesisir dan menurunkan jumlah wisatawan.
“Pantai ini tempat belajar bahasa Inggris dan kebersihan lingkungan. Sekarang kunjungan wisatawan turun drastis,” kata dia.
Keduanya menyatakan, tidak pernah dilibatkan dalam proses penerbitan PKKPRL. Mereka baru mengetahui proyek reklamasi setelah melihat papan informasi di lokasi.
Asas Kehati-hatian & Perlindungan Lingkungan
Kuasa hukum lainnya dari TAPaK, Mulya Sarmono, menyatakan, bahwa keterangan dua saksi tersebut menunjukkan bahwa BKPM, atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan, telah melanggar asas kehati-hatian.
Menurutnya, reklamasi di Teluk Manado/Laut Sulawesi berisiko merusak ekosistem penting, seperti terumbu karang yang memiliki fungsi ekologis dalam melindungi pantai dan mendukung produktivitas perairan.
Ia mengutip Putusan PTUN Jakarta Nomor 59/G/LH/2023/PTUN.JKT tanggal 24 Juli 2023, yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 277 K/TUN/LH/2024 tanggal 24 Agustus 2024.
Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa asas kehati-hatian mewajibkan pengambil keputusan untuk melakukan tindakan pencegahan.
“Terutama dalam situasi yang mengandung ketidakpastian, dengan menerapkan prinsip in dubio pro natura, yaitu memprioritaskan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup,” terang Mulya.
Respons KIARA
Menanggapi keterangan para saksi, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan, bahwa kesaksian mereka membuktikan tidak adanya partisipasi bermakna dari masyarakat pesisir Manado Utara.
Berbagai aksi penolakan, kata dia, telah dilakukan di tingkat lokal dan provinsi, namun tidak membuahkan hasil.
“Nelayan kecil dan warga pesisir lainnya dengan tegas menolak reklamasi. Data Kemendagri tahun 2025 mencatat 633 jiwa nelayan yang akan terdampak secara langsung. Bahkan, masih banyak lagi nelayan kecil/tradisional yang belum terdata namun akan turut terdampak,” papar Susan.
Susan menegaskan, bahwa pemerintah seharusnya tidak menutup mata terhadap aspirasi masyarakat pesisir yang selama ini bergantung pada laut untuk hidup.
“Reklamasi pantai Manado Utara bukan hanya mengancam lingkungan, tetapi juga memutus mata pencaharian nelayan serta kegiatan sosial dan budaya masyarakat,” pungkasnya.[nnh]