(ITD Plus) – Di zaman kemajuan teknologi seperti saat ini, di mana kota-kota semakin maju, akses informasi kian cepat dan melimpah, kehadiran dakwah harus bisa bertranformasi.
Bukan hanya sekedar menyampaikan kebenaran, dakwah harus bisa menjawab tantangan zaman, serta manjadi solusi dari permasalahan sosial.
Sekarang Era modern? Benar! Namun label tersebut, terasa tak berarti ketika melihat kenyataan sosial yang tampak di sekeliling masyarakat.
Ketimpangan Sosial dan Kesenjangan Antara Kota Dengan Desa
Kehidupan modern, banyak menciptakan kenyataan dilematis. Sadar atau tidak, setiap transformasi pasti memiliki dampak laten yang tak diinginkan.
Sebagai contoh, di tengah era kemajuan sekarang ini, masih banyak orang bekerja tanpa jaminan yang pasti, belum lagi yang terdampak dari pesatnya pembangunan.
Sebut saja petani! Salah satu pekerjaan yang memperlihatkan kepada kita, sebuah jurang ketimpangan sosial dan kesenjangan antara kota dengan desa.
Banyak kota-kota memiliki peran penting dalam perkembangan industri, namun di sisi lain banyak daerah yang semakin tertinggal, karena dianggap tidak menyimpan potensi keuntungan dalam kacamata industri.
Keberadaan daerah tertinggal ini, berujung pada tidak meratanya fasilitas penunjang hidup, seperti rumah sakit, sekolah, hingga lapangan pekerjaan.
Efek domino? Ya! Pada akhirnya kondisi-kondisi tersebut, membawa sebagian besar orang-orang hidup dalam kesulitan.
Cordofa Jadikan Dakwah Sebagai Solusi Permasalahan Sosial
Dalam konteks inilah, dakwah tidak bisa lagi berdiri sebagai praktik simbolik atau seremonial belaka.
Dakwah harus menjelma menjadi gerakan sosial yang merespons secara nyata problematika umat.
Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) hadir sebagai salah satu jawaban atas tantangan tersebut.
Cordofa bukan sekadar penyampai pesan keagamaan, melainkan menjadi agen perubahan yang menyatu dalam kehidupan masyarakat bawah.
Para dai Cordofa menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya membimbing iman, tapi juga memulihkan martabat kemanusiaan, dengan cara-cara yang konkret, terukur, dan kontekstual.
“Dai Cordofa harus bisa berdakwah, mensyiarkan nilai-nilai kebaikan dalam Islam. Serta dalam kesempatan yang sama, menolong orang melalui pendekatan sosial, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi,” ujar Manajer Cordofa Ahmad Pranggono kepada ITD News, Kamis (15/5/202/).

Langkah Konkret Cordofa
Ahmad menyadari betul, bahwa Cordofa lahir dari rahim lembaga zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf (Ziswaf), yakni Dompet Dhuafa.
Program-program Dompet Dhuafa sendiri, sedari awal sudah berfokus membantu kelompok dhuafa dalam masalah kehidupan sehari-hari mereka, seperti masalah kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan masalah hidup lainnya.
Selaras dengan program Dompet Dhuafa, Ahmad Pranggono mengaku, para Dai Cordofa tidak hanya bertugas mensyiarkan nilai-nilai keislaman, sebagaimana lazimnya dakwah kebanyakan.
Tetapi juga mengemban tugas khusus, yakni menjadi penggerak sebuah perubahan positif di suatu daerah.
Sebut saja Program Dai Transformatif, yang mengirimkan dai-dai Cordofa ke daerah 3T (Terluar, Terpencil dan Tertinggal) di sejumlah wilayah di Indonesia.
Menurutnya, Dai Transformatif menjadi model tepat, untuk mewakili semangat dakwah Cordofa dalam memberikan kontribusi nyata bagi permasalahan umat.
Sebagai contoh, program Dai Transformatif telah terealisasi di Desa Manik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung Barat.
Di sana, para petani tunakisma alias petani tanpa lahan, selama ini hidup dalam ketergantungan dan ketidakpastian.
Mereka tidak memiliki tanah untuk digarap sendiri, sehingga keadaan ini membuat mereka kesulitan mencari sumber penghidupan.

Ustadz Sofwan, seorang Dai Cordofa yang bertugas dalam program Dai Transformatif, melihat persoalan ini bukan semata sebagai nasib, melainkan sebagai tantangan yang bisa diatasi bersama.
Ia menggagas penghimpunan dana swadaya bersama warga, salah satunya mengelola dana zakat yang terhimpun.
Setelah modal terkumpul, mereka menyewa sebidang tanah untuk budidaya jamur tiram, yang hingga kini terus berkembang.
Para penerima manfaat, dalam hal ini Petani tunakisma, yang sebelumnya hidup dalam keterbatasan, sekarang mampu memanen sekitar 9 hingga 19 kilogram jamur setiap dua harinya.
Budidaya jamur tiram ini, ditujukan untuk dijual di pasar dengan nilai jual yang relatif stabil.
Sehingga, hal ini tidak hanya memberi keuntungan secara finansial, tetapi juga membuat petani tetap berdaya di tengah kesulitan.
Begitu juga di tempat lain seperti di Mentawai, pulau kecil di sebelah barat pulau Sumatera, tepatnya di Dusun Boriai. Dai transformatif menginisiasi panen raya beras di daerah yang sebelumnya tidak karib dengan budidaya pertanian itu.
Ketergantungan warga akan konsumsi nasi, menjadikan panen raya tersebut, sebagai oase dari kesulitan mereka mendapatkan akses beras selama ini.
Kini atas kerja keras warga dan dai, lahan padi seluas 18 hektar mampu menunjang kebutuhan beras untuk sekitar 45 KK di dusun tersebut.

Inilah wajah dakwah di era modern yang penuh kompleksitas hidup. Dakwah tidak hanya berhenti di ruang-ruang majelis, tetapi menerjemahkan nilai-nilai luhur ke dalam aksi nyata.
Dai Cordofa Hidupkan Kembali Dakwah Sesungguhnya
Menurut Ahmad Pranggono, para Dai Cordofa wajib memiliki tiga kriteria. Pertama, dalam dakwahnya, mereka tidak hanya berceramah tentang nilai-nilai kebaikan Islam secara teori.
Tetapi penting sekali mengangkat isu-isu tematik, tentang masalah atau kondisi yang sedang terjadi di masyarakat.
Kedua, para dai harus solutif. Sehingga, dari kajian tematik yang dibicarakan dan didiskusikan, menghasilkan ceramah yang memberikan solusi atas permasalahan jama’ah.
Kemudian, yang ketiga implementatif. Artinya solusi yang diberikan dai, harus bisa dan memungkinkan untuk direalisasikan atau dikerjakan.
Melalui Cordofa, Dompet Dhuafa menunjukkan bahwa dakwah sosial bukanlah konsep baru, tetapi warisan lama yang kini harus hidup kembali dalam bentuk yang relevan.
Pada zaman modern yang melahirkan banyak problematika hidup ini, peran dai tidak cukup hanya sebagai penceramah. Mereka juga harus menjadi pendamping, penggerak, dan penyambung harapan.
Karena pada akhirnya, dakwah bukan hanya soal menyampaikan kebenaran, tetapi juga memperjuangkan keadilan.
Bukan sekedar menuntun ke jalan yang lurus, tetapi juga menemani mereka yang terpinggirkan untuk bangkit dan berdaya. [red]