(IslamToday ID) — Program revitalisasi sejarah Indonesia gagasan Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) menuai kritik dari sejumlah kalangan.
Salah satunya, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, yang menilai inisiatif tersebut kurang relevan.
Karena dalam penggarapan buku revitalisasi sejarah terebut, tidak melibatkan berbagai pihak penting, termasuk keluarga korban dan organisasi masyarakat sipil.
“Sejarah itu harus melibatkan banyak pihak, agar tidak membuat kesalahan. Dan itu bisa menghindari ketersinggungan berbagai kelompok,” ujar Usman dalam forum diskusi bertajuk ‘Realita HAM Global dan Situasi di Indonesia setelah 27 Tahun Reformasi’ di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Rabu (15/5/2025).
Akibatnya, kata dia, program tersebut, belum mampu menghadirkan keadilan dan pengakuan yang utuh atas luka masa lalu bangsa.
Usman menganggap, bahwa tanpa adanya partisipasi luas, upaya revitalisasi sejarah justru berisiko menghasilkan narasi yang tidak utuh.
Bahkan, menurutnya, bakal berpotensi menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi para korban tragedi 1998.
Amnesty Ingin Program Revitalisasi Sejarah Transparan dan Adil
Pemerhati HAM, Usman Hamid menilai, program revilatilasi sejarah Indonesia yang sedang disusun dalam sepuluh jilid itu, dibuat secara sepihak.
Ia menyampaikan, bahwa narasi tunggal yang bersumber dari sartu pihak saja, dapat mengabaikan fakta-fakta penting dan mereduksi penderitaan korban.
“Kalau hanya satu pihak yang mendominasi, akan ada banyak fakta yang terabaikan dan potensi pengabaian atas hak-hak korban,” tambahnya.
Lebih lanjut, Usman mengungkapkan rencananya untuk bertemu dengan Komisi X DPR RI, guna mengkaji ulang kebijakan revitalisasi sejarah yang tengah berjalan.
Dia mendorong agar proses tersebut lebih inklusif, transparan, serta menjunjung prinsip keadilan transisional.
“Forum seperti ini harusnya menjadi awal untuk membuka ruang dialog antara negara, korban, dan masyarakat sipil. Kita butuh proses sejarah yang jujur dan bertanggung jawab,” kata dia.
Revitalisasi Sejarah Tak Sampingkan Suara Korban Pelanggaran HAM
Kritik Amnesty muncul di tengah upaya pemerintah memperkuat kesadaran sejarah, melalui kurikulum pendidikan dan proyek-proyek kebudayaan.
Amnesty berharap, bagaimana revitalisasi sejarah memastikan bahwa setiap yang diajarkan dan diwariskan ke depan, tidak meminggirkan suara-suara korban, serta tidak menjadi alat pembenaran bagi masa lalu yang kelam.
Amnesty menegaskan, selama negara belum menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara tuntas, termasuk tragedi Mei 1998, maka kegagalan dalam menegakkan keadilan selalu membayangi semangat reformasi.
“Pengakuan dan keadilan harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar dokumen atau narasi yang disusun sepihak,” tegas Usman Hamid. [els]