(IslamToday ID) –Massa dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama elemen mahasiswa melakukan audensi dan menggelar aksi di depan Kantor Kementerian Sosial (Kemensos), Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Kamis (15/5/2025).
Mereka menuntut, agar pemerintah membatalkan rencana pemberian gelar pahlawan nasional, kepada Presiden kedua RI, Soeharto.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina menyatakan, bahwa masyarakat sipil menolak tegas rencana tersebut.
Pasalnya, rekam jejak Soeharto dinilai tidak memenuhi syarat integritas moral dan keteladanan yang harus dimiliki seorang pahlawan.
“Kami hadir ke Kementerian Sosial untuk berpartisipasi dalam negara demokrasi. Pemberian gelar pahlawan ini harus melibatkan masyarakat sipil secara aktif, dilakukan secara transparan, dan dapat dikontrol oleh publik,” ujar Jane kepada awak media di Jakarta.
KontraS Serahkan Data & Argumentasi Hukum ke Kemensos
Jane membeberkan, bahwa KontraS telah menyerahkan data dan argumentasi hukum kepada Kemensos.
Yakni, berdasarkan UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Mereka juga menyerahkan petisi penolakan gelar pahlawan untuk Soeharto, yang ditandatangani oleh lebih dari 6.000 orang, serta didukung oleh 30 lebih organisasi masyarakat sipil internasional.
“Rekam jejak Soeharto terkait pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM dari 1965 hingga 1998, termasuk di Aceh dan Papua, menunjukkan bahwa dia tidak layak menjadi pahlawan,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung, keterlibatan Soeharto dalam praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
“Soeharto adalah pemimpin paling korup abad ke-20 menurut UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) dan Bank Dunia. Transparansi Internasional juga mencatatnya sebagai presiden terkorup,” kata dia.
Jane juga menambahkan, bahwa masa pemerintahan Soeharto juga ditandai dengan represi terhadap perempuan, pembungkaman kebebasan pers dan akademik, serta kebijakan diskriminatif lainnya.
“Kalau kita melihat syarat seorang pahlawan adalah memiliki integritas moral dan keteladanan, maka Soeharto sama sekali tidak layak,” tutur Jane.
Korban 65 Ungkap Pengalaman Kelam
Dalam kesempatan yang sama, Bejo Untung, korban selamat dari tragedi 1965, juga menyuarakan keberatannya.
Ia menyebut, bahwa Soeharto sebagai biang atau sumber dari kejahatan kemanusiaan di Indonesia.
“Saya selaku korban kejahatan kemanusiaan rezim Soeharto menegaskan, tragedi 65 adalah sumber dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Soeharto,” ucap Bejo.
Bejo mengaku, dirinya ditahan selama sembilan tahun tanpa proses hukum. Ia dipindah-pindahkan ke berbagai lokasi, termasuk kamp kerja paksa.
Menurutnya, jutaan rakyat Indonesia menjadi korban di bawah kepemimpinan Soeharto.
“Saya katakan, sekurang-kurangnya satu sampai dua juta jiwa rakyat Indonesia yang tidak bersalah dibunuh oleh Soeharto,” tambahnya.
Bejo mendesak, agar Kemensos tidak mengusulkan nama Soeharto, untuk mendapat gelar pahlawan nasional.
Kemudian, mendesak pembentukan pengadilan HAM, agar Soeharto bisa diadili secara in absensia atau proses pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.
“Soeharto adalah pengkhianat bangsa, dia bukan pahlawan. Saya lebih mengatakan Soeharto adalah Hitler-nya Indonesia. Dunia internasional akan tertawa jika orang seperti itu dijadikan pahlawan,” pungkas Bejo.
KontraS akan Kawal Proses Sidang Dewan Gelar
Lebih lanjut, KontraS akan terus mengawal proses ini menjelang sidang Dewan Gelar pada Juli mendatang dan penetapan resmi oleh Presiden pada November 2025.
Selain itu mereka mengingatkan, bahwa keputusan ini tidak hanya soal simbol, tetapi menyangkut keberpihakan negara terhadap korban serta penegakan nilai keadilan sejarah.[nnh]