(IslamToday ID) – Kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump selama empat hari ke kawasan Teluk Persia menandai pergeseran penting dalam strategi luar negerinya: menggandeng negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) sebagai mitra utama dalam ekspansi ekonomi, dengan fokus pada kesepakatan bisnis, bukan perang berkepanjangan.
Dalam lawatannya ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA), Trump menandatangani serangkaian kesepakatan raksasa yang digambarkan Gedung Putih sebagai awal dari “Era Keemasan Baru” bagi ekonomi Amerika. Riyadh menjanjikan investasi sebesar USD 600 miliar, Doha USD 243,5 miliar, dan Abu Dhabi mencengangkan dunia dengan komitmen sebesar USD 1,4 triliun selama dekade mendatang.
Meski banyak pihak menilai angka-angka ini bersifat ambisius di tengah harga minyak yang masih rendah, simbolismenya sangat kuat. Bahkan jika hanya sebagian yang terealisasi, dampaknya akan signifikan—terutama di sektor seperti kecerdasan buatan (AI) dan pertahanan, di mana modal Teluk kini makin berperan dalam kepentingan strategis AS.
Secara diplomatik, kunjungan ini juga mencerminkan recalibrasi besar. Trump memilih pendekatan yang jauh lebih moderat terhadap Iran dibandingkan pidatonya di Riyadh pada 2017. Alih-alih konfrontasi, ia kini menekankan solusi diplomatik atas kebuntuan nuklir Iran-AS, yang mendapat dukungan penuh dari negara-negara Teluk. Saudi secara terbuka menyatakan dukungan terhadap dialog, sejalan dengan kekhawatiran regional akan potensi perang di kawasan mereka sendiri.
Momen paling mengejutkan terjadi ketika Trump, didampingi Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dan melalui sambungan telepon dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, mengadakan pertemuan dengan Presiden interim Suriah Ahmad al-Sharaa. Dalam pertemuan itu, Trump mengumumkan pencabutan sebagian besar sanksi AS terhadap Suriah—langkah berani yang bahkan mengejutkan sejumlah pejabat dalam pemerintahannya sendiri.
Langkah tersebut menandai kemenangan diplomatik besar bagi Ankara dan ibu kota Teluk, yang selama ini mendorong normalisasi Suriah dan pengakuan terhadap pemerintahan baru yang dipimpin HTS. Selain menunjukkan pengaruh negara-negara Teluk dalam membentuk kebijakan AS, hal ini juga menjadi bukti bahwa strategi baru Trump tidak lagi terikat pada agenda lama yang dipengaruhi lobi pro-Israel.
Meski begitu, masih ada tanda tanya besar: apa yang akan diminta AS sebagai imbalan dari Damaskus atas pencabutan sanksi ini? Spekulasi mengarah pada kemungkinan upaya untuk menarik Suriah masuk ke dalam Abraham Accords, yang bisa mengubah poros historis negara tersebut dan berisiko pada klaimnya atas Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.
Dalam konteks regional, langkah Trump juga dipandang sebagai pergeseran kekuatan dari Tel Aviv ke ibu kota Teluk. Meski belum secara resmi menggantikan Israel sebagai mitra utama AS di kawasan, orientasi kebijakan luar negeri Trump kini lebih selaras dengan kepentingan negara-negara Teluk—terutama terkait Iran, Suriah, dan Yaman.
Trump secara terbuka juga menolak tekanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk memasukkan Israel dalam kunjungan tersebut. Ini semakin menegaskan bahwa Trump pada masa jabatan keduanya cenderung lebih otonom dan kurang tunduk pada preferensi Tel Aviv.
Dengan prioritas kebijakan luar negeri yang kini lebih pragmatis dan fokus pada kestabilan serta kemitraan ekonomi, pemerintahan Trump tampaknya menggeser poros strategis AS di Timur Tengah. Israel, yang selama ini disebut sebagai “sekutu tak tergantikan” AS, kini tampaknya mulai diposisikan lebih sebagai beban ketimbang aset.[sya]